JAKARTA, KOMPAS - Belakangan ini kita mudah menemukan contoh peristiwa yang berkembang dalam dinamika kehidupan bangsa yang mengarah kepada kemunduran atau kemerosotan politik (political decay).
Konflik-konflik internal partai politik sebagai puncak ekses oligarki politik tentu juga merupakan gejala kemerosotan politik. Begitu pun konflik antarlembaga penegak hukum yang berekses disfungsi kelembagaan dan ketidakpastian hukum. Konflik antarelite dan antarlembaga tersebut tentu sangat memprihatinkan karena pemulihannya memerlukan jalan yang panjang dan tidak mudah.
Pembangunan politik
Kemerosotan politik merupakan lawan dari pembangunan politik (political development), istilah atau konsepsi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Tema pembangunan politik telah menjadi fokus perhatian para ilmuwan politik Amerika Serikat pada zamannya, mengalami perkembangan, kritik, bahkan antitesis dengan hadirnya teori dependensia yang marak pada 1970-an.
Menengahi itu, sempat hadir pula teori sistem dunia. Kendati demikian, perkembangan itu tidak memengaruhi konteks hakikat pembangunan politik sebagai lawan dari kemerosotan politik.
Beberapa tema pokok dalam pembangunan politik adalah stabilitas politik dan tentu juga keamanan. Ini diperlukan untuk mendorong produktivitas pembangunan di semua bidang, termasuk terutama ekonomi. Memang, dalam konteks pembangunan ekonomi, fokus perhatian utamanya pertumbuhan ekonomi.
Bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi masih menjadi indikator penting untuk mengetahui perkembangan ekonomi suatu bangsa. Memang, kita tahu bahwa terfokus pada aspek pertumbuhan saja tidak arif mengingat kesejahteraan suatu bangsa lebih ditentukan pada aspek pemerataan, bukan ketimpangan pembangunan.
Tentang perkembangan ekonomi ini, semakin terasa bahwa masyarakat ekonomi tidak dapat berdiri sendiri. Dalam wacana konsolidasi demokrasi, mereka membutuhkan iklim politik demokratis yang stabil, kepastian hukum, dan keamanan yang baik. Masyarakat ekonomi membutuhkan masyarakat politik hingga civil society yang kuat. Maka, ketika konflik terjadi, kalau bukan marak, di ranah elite politik dan eskalasinya masif, tentu semua itu berdampak ke ranah ekonomi.
Pembangunan politik juga menyinggung partisipasi politik yang pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Sekarang era multipartai, di mana partai-partai politik memiliki peran yang demikian strategis. Berpolitik kini lebih cair ketimbang di era ketika politik terfragmentasi secara ideologis (Orde Lama) atau ketika depolitisasi diterapkan (Orde Baru). Perilaku politik di zaman kita juga telah mengalami perkembangan yang berbeda, yakni tampak lebih pragmatis.
Tentu perilaku demikian tidak dapat dilepaskan dari sistem politik. Sistem demokrasi politik masa kini yang banyak diimplementasikan melalui pemilihan langsung, menandai suatu era kontestasi politik yang pada akhirnya membentuk perilaku politiknya sendiri. Sistem politik juga memungkinkan pergeseran kekuatan-kekuatan politik, termasuk dalam konteks dominasi aktor-aktor politik.
Demokrasi liberal dalam formatnya sekarang ini, pada kenyataannya membuat elite pengusaha tampil dominan, ketimbang elite intelektual, militer, aktivis, dan teknokrat di masa lalu. Ini dapat dipahami mengingat sistem politik kita memberi peluang lebar bagi elite-elite yang didukung kekuatan modal besar untuk berkuasa.
Peran pemimpin
Pilihan, peran, dan interaksi elite politik, terkhusus elite kekuasaan (ruling elites) selama ini diyakini memainkan peran yang cukup menentukan dinamika dan arah pembangunan politik. Belakangan ini, terasa adanya pembelahan penting di ranah elite kekuasaan, yang justru bukan lagi dikaitkan dengan konteks ideologis atau teknokratis, tetapi elite partai politik dan nonpartai politik.
Presiden yang hadir dari kontestasi populer dituntut untuk pandai mengakomodasi berbagai jenis elite itu dalam satu titik keseimbangan. Ini tidak mudah, apalagi kalau presiden terbebani oleh kultur neo-patrimonialisme di satu sisi dan kultur pragmatisme politik di sisi lain.
Membangun konsensus itulah yang menjadi hal penting bagi pemimpin politik mana pun. Rapuhnya jalan menuju konsensus tentu merupakan potret buruk dalam pembangunan politik. Apalagi, apabila saluran alternatif dari rapuhnya lembaga-lembaga politik tidak ditemukan. Hal ini bisa memicu kekacauan politik, bahkan dalam terminologi yang lebih ekstrem adalah revolusi. Revolusi merupakan hal yang lazim didiskusikan dalam pembangunan politik, menandai adanya frustrasi sosial dan kebuntuan saluran politik karena pembusukan kelembagaan.