Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sembilan Alasan Menolak Jatah Rp 1 Triliun Per Tahun dari APBN untuk Parpol

Kompas.com - 10/03/2015, 10:55 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menolak wacana pemberian dana hingga Rp 1 triliun dari APBN kepada partai politik setiap tahun. Alasannya, praktik parpol selama ini tidak transparan dan dikhawatirkan terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan.

Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra Apung Widadi mengatakan, ada sembilan alasan pihaknya menolak wacana yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo itu. (Baca: Tjahjo: Wacana Anggaran Rp 1 Triliun dari APBN untuk Parpol Perlu Dipikirkan)

Pertama, parpol belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dari APBN. Riset Fitra menunjukkan bahwa penggunaan bantuan keuangan parpol pada tahun 2010 tidak transparan dan tidak akuntabel.

"Bendahara partai biasanya hanya berfungsi sebagai 'kasir', tanpa pencatatan keuangan yang jelas. Laporan penggunaan keuangan dari APBN tidak sesuai dengan peruntukan. Contoh, jika bantuan APBD harusnya untuk pendidikan politik, itu justru habis untuk operasional kantor," kata Apung dalam rilis yang diterima Kompas.com, Selasa (10/3/2015).

Selain itu, pencatatan keuangan parpol masih bersifat tradisional dan belum sesuai standar permendagri atau kantor akuntan publik. Terkait akuntabilitas, sebagian besar partai politik biasanya terlambat memberikan pertanggungjawaban kepada Kemendagri sehingga semakin mempersulit proses audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Masih terkait akuntabilitas, Apung menambahkan, mekanisme audit masih melalui pengguna anggaran, yaitu Kemendagri. BPK tidak bisa langsung mengaudit parpol. Partai juga belum mempunyai petugas pengelola informasi dan data (PPID) sesuai dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 sehingga sangat sulit untuk mengaudit dana parpol dari APBN.

"Orang yang menangani keuangan biasanya tidak jelas dan selalu berganti," ujarnya.

Alasan kedua, rencana alokasi tanpa perhitungan kursi justru membuat partai malas bekerja untuk rakyat. Rencana pemberian dana yang besarnya sama setiap partai bertentangan dengan prinsip keadilan sesuai dengan perolehan suara.

"Selain itu, hal ini dapat menjadikan partai politik malas bekerja untuk rakyat. Toh setiap tahun mendapat alokasi anggaran dari APBN. Hal ini juga akan memicu lahirnya partai baru yang lebih pragmatis hanya sebagai penadah bantuan keuangan parpol dari APBN," kata Apung.

Alasan ketiga, oligarki parpol di Indonesia saat ini masih kuat. Di sisi lain, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas tidak terbangun. Akibatnya, bukannya meminimalkan korupsi, anggaran senilai Rp 1 triliun justru tidak akan efektif.

Menurut Apung, potensi ini sangat kuat karena mekanisme kerja, pencatatan keuangan, dan mekanisme audit secara internal tidak dimiliki oleh partai. Dikhawatirkan, jatah dari APBN ini akan menjadi bancakan elite parpol.

Alasan keempat, jatah untuk parpol tidak sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja. Kinerja parpol masih buruk. Sejak 2003, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang telah mengubah paradigma penganggaran dari sistem tradisional yang berorientasi pada input atau anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja.

Anggaran berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Namun, parpol saat ini selalu berkonflik dan mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri.

"Jelas tidak layak mendapatkan jatah yang sangat tinggi," kata Apung.

Alasan kelima, jatah Rp 1 triliun dari APBN justru akan menjadi bentuk korupsi baru. Dengan kondisi parpol yang belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas, ditambah dengan perilaku politisinya yang masih koruptif dan pengelolaan partai yang masih oligarki, kondisi tersebut justu akan menjadikan bantuan keuangan sebagai sarana korupsi baru bancakan dana keuangan parpol.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com