Ketika duet ini diwacanakan, sempat muncul spekulasi bahwa Jusuf Kalla, yang pernah menjadi wakil presiden bagi Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2009, akan lebih mendominasi. Di akhir kepemimpinan periode pertama SBY, JK sempat mendapatkan julukan "The Real President", hingga menganggap duet keduanya sebagai "matahari kembar".
Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, duet Jokowi-Kalla masih harmonis. Pembagian tugas di antara keduanya, menurut dia, terlihat proporsional. Selama dua bulan pertama memerintah, Kalla tak terlihat mendominasi.
Dalam berbagai kesempatan, menurut Yunarto, Kalla kerap berbicara dengan mengatasnamakan Presiden.
"Misalnya statement Pak JK saat menangani AirAsia, Beliau selalu menggunakan kalimat 'Presiden memerintahkan'," kata Yunarto ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (31/12/2014).
Menurut Yunarto, sikap Kalla yang menyadari bahwa dirinya hanya cadangan presiden tersebut wajar dan sesuai dengan etika pemerintahan. Sudah seharusnya jika seorang wakil presiden mengatasnamakan presiden ketika berbicara di hadapan publik.
"Yang betul memang demikian, sesuai dengan tata negara, wapres memang harus menempatkan diri sebagai ban serep, sebagai cadangan," kata Yunarto.
Matahari kembar
Mengenai potensi munculnya kembali matahari kembar, Yunarto menilai, kemungkinan itu belum terlihat jika hanya mengukur kekompakan Jokowi-Kalla dalam dua bulan memerintah.
Sama halnya dengan ketika dua bulan pertama Kalla mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, menurut dia, potensi munculnya matahari kembar dalam duet Jokowi-Kalla lebih kecil jika dibandingkan ketika Kalla berduet dengan SBY. Alasannya, Kalla dan Jokowi dinilainya memiliki karakter kepemimpinan yang sama. Keduanya sama-sama tipe pemimpin eksekutor. Sementara, SBY dan Kalla memiliki karakter kepemimpinan yang berbeda. SBY seorang konseptor atau perencana yang cenderung gemar mengadakan rapat-rapat panjang, sementara Kalla seorang eksekutor yang lebih senang turun langsung ke lapangan.
"Dua bulan pertama memang belum kelihatan. Pasca tahun kedua, peran JK tampak lebih menonjol dari SBY, ini dikarenakan memang karakter keduanya berbeda, SBY seorang planner, JK seorang eksekutor. Tapi kalau JK dan Jokowi, sama -sama eksekutor sehingga lebih terasa berimbang," tutur dia.
Selain itu, saat ini Kalla bukan satu-satunya tokoh yang memengaruhi arah kebijakan Jokowi. Ada tokoh senior lain di lingkaran Jokowi yang juga memiliki pengaruh kuat. Sebut saja Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Menurut Yunarto, peran kedua tokoh ini seolah menihilkan dominasi Kalla.
"Keberadaan sosok lain ini membuat potensi JK menjadi matahari kembar tidak terlihat karena bukan hanya JK tapi ada sosok yang lain," kata Yunarto.
Lainnya, dukungan politik yang dimiliki Kalla tidak sekuat ketika dia berduet dengan SBY dulu.
"JK sekarang tidak punya partai. Beda ketika dengan SBY, di tahun keduanya dia langsung jadi ketua pumum partai politik," ujarnya.
Pasangan pemberani
Mengenai kinerja keduanya selama dua bulan memerintah, menurut Yunarto, Jokowi-Kalla berani meletakkan pondasi kebijakan mereka pada awal-awal memerintah. Langkah ini, kata dia, berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang cenderung bermain aman dan tebar pesona pada awal masa pemerintahan.
Yunarto mengatakan, Jokowi-Kalla berani mengambil kebijakan yang tidak populis. Misalnya dengan melonggarkan anggaran dari segi fiskal melalui pemangkasan subsidi bahan akar minyak (BBM).
"Ini lingkaran setannya di sini, anggaran pemerintah selama ini terbebani subsidi BBM yang menyebabkan kesulitan-kesulitan berikutnya," ujar Yunarto.
Apalagi, program pemangkasan subsidi BBM ini didukung dengan kebijakan penghematan anggaran lainnya, termasuk penghematan anggaran belanja aparatur negara.
Yunarto berpendapat, langkah Jokowi-Kalla ini sekaligus menjawab tuduhan politik terhadap keduanya yang selama ini dianggap hanya bermodalkan pencitraan.
Tantangan ke depan
Hanya saja, Yunarto mengingatkan Jokowi untuk melakukan evaluasi kabinetnya secara transparan dan berkala. Apalagi, nuansa bagi-bagi kursi kekuasaan begitu terasa dalam pemilihan kabinet Jokowi-Kalla. Menurut dia, tantangan utama bagi Jokowi adalah mengevaluasi para menterinya secara obyektif tanpa perlu berkonsultasi dengan pimpinan partai politik pendukungnya.
"Harus ada rapor kementerian ini yang bisa menjadi jawabaan meskipun awalnya akomodatif, pemilihan kabinet akomodatif, tapi penilaian kinerja oleh presiden tetap independen," kata dia.
Ia pun meminta Jokowi tak ragu mengganti menterinya jika memang hasil evaluasi menunjukkan adanya menteri yang memperoleh rapor merah dalam enam bulan ke depan.
"Tidak harus reshuffle tapi dilakukan evaluasi yang transparan. Kalau ada rapor yang merah ya harus diganti, ya harus dilakukan evaluasi," kata dia.
Selanjutnya, akankah Jokowi-Kalla tetap kompak menghadapi tantangan ke depannya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.