Namun, kata David Reeve dalam buku Golkar: Sejarah yang Hilang (2014), sejak tahun 1968, Golkar dibajak demi pemenangan pemilu bagi Orde Baru dan untuk merestrukturisasi perpolitikan Indonesia.
Padahal, awalnya Golkar didirikan untuk menjadi alternatif parpol lain, juga untuk mengimbangi Partai Komunis Indonesia. "Golkar pernah memiliki gagasan bagus dalam perjalanan awalnya. Tetapi, ketika organisasi makin baik, justru gagasan makin melemah", tulis Reeve.
Melihat perjalanan hidup Golkar di masa lalu, kemudian mencermati manuver Golkar di era Reformasi, sedikit banyak timbul prasangka. Boleh jadi arah Golkar tidak pernah ditentukan oleh kader dari tingkat paling bawah, tetapi sekadar dikooptasi oleh elite Golkar.
Hasrat elite Golkar
Arah beringin condong ke kiri atau ke kanan boleh jadi tergantung dari hasrat para elite Golkar. Mungkinkah ada demokrasi dalam penentuan arah Golkar? Sulit dijawab walau mungkin terpenuhilah syarat prosedural dan legalitas.
Lihatlah betapa Golkar yang sempat diarahkan oleh Akbar dikoreksi Kalla untuk mendukung pemerintah. Kini, akibat Megawati hanya mesam-mesem saat "bernegosiasi" dengan elite Golkar pada pra-Pemilu Presiden 2014, akhirnya Aburizal menjadikan Partai Golkar sebagai partai "penyeimbang".
Dengan "kecanggihan" elite Golkar untuk bermanuver, dengan pengalaman mendirikan Koalisi Kebangsaan, jangan kaget jika Golkar merupakan "otak" di balik pendirian KMP. Kekuatan Golkar sebagai penyeimbang makin dahsyat dengan KMP.
Namun, benarkah arah Partai Golkar sudah final? Belum 100 persen. Munas Golkar Jakarta sejak Sabtu (6/12) hingga Senin (8/12) memilih Agung Laksono sebagai Ketum Golkar. Munas Jakarta pun menegaskan dukungan terhadap Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Perjalanan sejarah yang dapat menentukan siapa yang terkuat antara Munas Bali dan Munas Jakarta. Akhir perseteruan itu yang menentukan ke mana arah Golkar.
Manuver Golkar
Lagi pula, sungguhkah kader Golkar yang menjabat kepala daerah ingin menjadi penyeimbang? Belum tentu. Apalagi, kepala daerah harus berhubungan dengan pemerintah pusat, setidaknya dalam hal anggaran.
Jangan-jangan sinergi Golkar dengan KMP—dengan skenario pilkada via DPRD—demi menyapu bersih posisi kepala daerah. Di daerah lumbung suara Golkar, elite Golkar menjadi kepala daerah, di lumbung suara partai lain, Golkar tetap berkuasa berkat KMP.
Kalau dugaan itu benar, elite Golkar sungguh lihai. Tidak sekadar jadi penyeimbang, Golkar juga dapat "menggergaji pohon lain" di KMP. Golkar pun sempat silang pendapat dengan Demokrat, pendukung Perppu Pilkada Langsung.
Akan tetapi, dengan derasnya "tekanan" publik, akhirnya, Selasa lalu, Aburizal "berkicau" untuk mendukung pilkada langsung. Benarkah sikap Aburizal sudah final? Belum tentu.
Namun, ketika bersikeras menjadi penyeimbang dengan menolak pilkada langsung, Golkar tak akan berhadapan dengan koalisi atau parpol lain, tetapi langsung dengan rakyat!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.