Persoalan lain, jika pilihan melakukan revisi terbatas tak mungkin dielakkan, DPR harus tetap melibatkan DPD. Ihwal ini, DPR tak pada tempatnya menggunakan basis argumentasi untuk tak melibatkan DPD karena substansi revisi tak terkait kewenangan kamar kedua lembaga legislatif ini. Sekalipun ketentuan yang direvisi tak menyangkut DPD, sesuai Pasal 22D UUD 1945, lembaga ini tak bisa ditinggalkan begitu saja dalam revisi UU MD3.
Demi menjaga makna Pasal 22D, DPD harus jadi bagian dalam revisi UU MD3. Bisa saja, dalam pembahasan nantinya, DPR menyampaikan kepada DPD mengapa pasal-pasal tertentu saja yang direvisi. Jika ini dilakukan, hasil revisi nanti tak perlu menghadapi kemungkinan adanya cacat formal. Selain itu, pelibatan ini menjadi keniscayaan karena pada saat perubahan UU No 27/2009 menjadi UU No 17/2014, DPR pun meninggalkan DPD. Kini saatnya sedikit memulihkan luka DPD dalam revisi UU MD3.
Terlepas dari semua persoalan tersebut, secara substansi UU MD3 memang perlu direvisi. Misalnya, salah satu alasan mengganti model pemilihan pimpinan adalah untuk memulihkan daulat anggota dalam menentukan pimpinan DPR. Melihat pengalaman terakhir, ternyata pengisian pimpinan dan alat kelengkapan hanya kian meneguhkan supremasi elite parpol. Bahkan, upaya menciptakan lembaga perwakilan yang lebih akuntabel sama sekali belum terakomodasi dalam UU No 17/2014.
Karena itu, setelah pembelahan KMP dan KIH selesai, perlu dilakukan revisi total UU MD3. Meski belum tentu akan diberlakukan pada DPR periode 2014-2019, paling tidak upaya mengubah UU MD3 untuk Pemilu 2019 tidak lagi dilakukan setelah hasil pemilu diketahui.
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang