Aliran dana masuk juga difasilitasi dengan sangat baik lewat bunga tinggi, baik lewat instrumen SBN, SBI, maupun yang lain, sehingga tanpa disadari nisbah ekonomi disedot ke luar. Meski argumen ini tak salah, pengerutan investasi tak semata soal kelangkaan infrastruktur ataupun lambannya perizinan, tetapi juga bagaimana sektor keuangan diregulasi sesuai napas jati diri ekonomi.
Langit kesejahteraan
Deskripsi itu tentu menyimpan banyak persoalan lain yang belum terungkap, tetapi sekurangnya memberi bingkai perspektif persoalan ekonomi. Tantangan terberat para menteri pos ekonomi ialah mengawinkan problem itu dengan platform Presiden. Di titik inilah Kementerian PPN/Bappenas memanggul tugas amat strategis: menjadi pengemudi dan kompas ke mana layar ekonomi hendak diarahkan. Kementerian Luar Negeri telah mengembuskan angin paling kencang dengan pernyataan akan mengubah haluan diplomasi menuju warna ekonomi yang pekat.
Setiap kedutaan di luar negeri mesti menjadi "intelijen ekonomi", antara lain tahu peta potensi ekonomi yang bisa digarap demi memperkuat ekonomi domestik. Namun, itu baru separuh komitmen, sebagiannya lagi harus diteruskan ke isu kedaulatan ekonomi. Diplomasi luar negeri juga menjajaki prospek kerja sama ekonomi sebagai alternatif menghadapi kekuatan poros ekonomi yang telah mapan. Pada era 1950-an, yang berpuncak pada 1955 (Konferensi Asia-Afrika), Indonesia pernah melakukan itu sehingga ikhtiar kedaulatan ekonomi tersebut memiliki spektrum lebih luas.
Kementerian Perdagangan dan Keuangan mesti sigap mengikuti inisiatif yang sudah dibuka menteri luar negeri dalam rupa ragam kebijakan ekonomi luar negeri yang solid. Politik luar negeri yang tegas juga mesti diterjemahkan dalam kebijakan ekonomi luar negeri yang lugas pula, tidak seperti selama ini yang nyaris tak punya sikap. Tentu saja pilihan ini baru dapat diambil jika urusan-urusan domestik di muka juga telah dibereskan. Tiongkok bisa mengambil kebijakan ekonomi yang terkait dengan luar negeri setelah ekonomi domestik ditata dan fase-fase pembangunan telah dilalui dengan baik sehingga keputusan untuk, misalnya, bergabung dalam WTO atau AIIB merupakan pantulan dari situasi ekonomi domestik.
Hasilnya, manfaat yang diperoleh lebih besar ketimbang risiko yang ditanggung. Relasi kebijakan domestik-luar negeri merupakan ramuan yang tak boleh dipisah agar dampaknya tak saling menegasikan. Hingga saat ini belum ada pernyataan sama sekali dari dua kementerian ini soal payung kebijakan yang hendak dibuat pada saat cabang jalan mengharuskan kita membuat pilihan: terus atau belok.
Satu soal lain yang mesti dipadatkan dalam sikap terang adalah kerja investasi dan pengelolaan sumber daya ekonomi. Selama ini, investasi luar negeri menjadi pendorong primer penanaman modal sehingga hal itu dianggap sebagai keniscayaan. Namun, makin lama nisbah ekonomi yang didapat bagi ekonomi domestik kian kabur. Bahkan, residu investasi asing itu makin menyeruak, dari soal repatriasi, kerusakan sumber daya alam, peminggiran penduduk lokal, eksploitasi sumber daya ekonomi, hilangnya potensi penerimaan negara, penciutan lapangan kerja, orientasi ekspor yang menurun, dan lain sebagainya. Strategi investasi yang mempromosikan pelaku ekonomi domestik, khususnya kecil dan menengah, menjadi pertaruhan yang mesti dimenangkan.
Secara lebih spesifik, mandat konstitusi juga memberikan otoritas kepada BUMN untuk mengelola cabang-cabang ekonomi yang penting dan SDA. Kementerian BUMN, Koperasi dan UKM, Perindustrian, dan BKPM mesti menjelaskan arah kebijakan penguatan ekonomi dengan sungguh-sungguh, sambil menghindari munculnya agenda tersembunyi yang kerap tercium sengatnya. Semoga kabinet ekonomi memahami konstelasi ekonomi rumit ini dan mampu memanjat pohon konstitusi sehingga dapat menggapai langit keadilan dan kesejahteraan ekonomi.
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef