Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Defisit Martabat Wakil Rakyat

Kompas.com - 04/11/2014, 15:18 WIB

Oleh: J Kristiadi

KOMPAS.com - RAKYAT Indonesia tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui karakter lembaga wakil rakyat. Perilaku predatorik, naluri memangsa lawan politik dengan berebut pimpinan DPR serta alat kelengkapan DPR, dilakukan tanpa etika dan kesantunan, bahkan nyaris brutal. Hujan interupsi, berebut maju ke meja pimpinan, dan menjungkirbalikkan meja dapat disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia melalui sejumlah media. Baru kali ini DPR hampir mempunyai pimpinan kembar.

Pemandangan tersebut sangat berlawanan dengan upacara pelantikan yang gemerlap, semringah, dan tentu saja balutan pakaian berkelas. Pada peristiwa seremonial tersebut, semua wakil rakyat mencoba membangun imaji kolektif sebagai tokoh publik yang bermartabat dan mulia.

Namun, pesona pakaian dan aroma wewangian sebagai lambang harkat dan derajat itu dalam sekejap pudar oleh hasrat kuasa yang menggebu. Perubahan perilaku ini mencerminkan karakter mereka yang seharusnya lebih mengabdi kepada kepentingan umum ternyata lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan.

Praktik politik sejenis juga menjalar sampai tingkat daerah, DPRD provinsi ataupun kabupaten/kota. Dengan demikian, benar ungkapan bijak Abraham Lincoln (1809-1865): hampir semua orang dapat bertahan menghadapi kesulitan, tetapi kalau ingin tahu watak seseorang, berilah dia kekuasaan (nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power). Namun, yang sangat menyedihkan, sinyalemen majalah Tempo (3-9 November), perebutan kursi pimpinan DPR beraroma politik transaksional.

Tragedi politik di parlemen bukan datang dengan tiba-tiba. Proses tersebut sudah menggejala sejak pemilihan anggota legislatif bulan Juli lalu. Kerasnya pertarungan berebut kursi di DPR serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota telah menguras deposit rasa saling percaya di internal parpol. Sesama kader parpol di daerah pemilihan yang sama harus tega saling mematikan demi survivalitas politiknya.

Fenomena tersebut dalam bahasa Adam Przeworski (1999) disebut demokrasi minimalis (minimalist conception of democracy). Tegasnya: demokrasi adalah ”konflik yang terbatas” atau ”konflik tanpa saling bunuh”, demokrasi bukanlah konsensus (democracy is ”limited conflict” or ”conflict without killing”, it is not about consensus).

Dalil itu, meski tidak seluruhnya benar, validitasnya setidak-tidaknya dalam kasus kompetisi politik di parlemen dewasa ini masih teruji, musyawarah sebagai kearifan dalam praktik pengambilan keputusan politik sudah luntur.

Bahkan, semangat pertarungan habis-habisan sudah diawali sejak penyusunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang tersebut disusun mengabaikan aturan baku yang mengharuskan berpedoman kepada UU No 12/2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selain itu, tak melibatkan perdebatan publik yang cukup mendalam, terutama isu-isu yang dianggap krusial oleh publik, misalnya tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR dengan sistem paket. Isu tersebut juga tak pernah tercantum dalam daftar inventarisasi masalah, naskah akademik, serta diagendakan dalam berbagai forum, misalnya panja dan pansus. Maka, dalam perspektif formal-prosedural penyusunan undang-undang, seharusnya UU No 17/2014 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Perilaku para wakil rakyat di panggung politik justru menegaskan bahwa pertemuan yang dilakukan tokoh-tokoh sentral Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat hanya basa-basi politik. Tali silaturahim tersebut, meskipun mampu mengerem tingkat eskalasi konflik, tidak mempunyai daya getar di parlemen. Ini mengesankan hanya bagian dari siasat politik yang lebih canggih.

Namun, yang lebih tragis, kompetisi memperebutkan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya tanpa konsultasi dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Masyarakat sama sekali tidak memahami, mereka sedang memperebutkan apa dan untuk siapa. Rakyat diperlakukan sebagai penonton setelah mereka memegang kekuasaan atas nama rakyat. Janji kampanye mereka menguap dalam sekejap diterpa panasnya nafsu kuasa.

Rakyat juga tidak tahu apa hubungan antara keributan dan perilaku brutal di parlemen dengan upaya memperbaiki kesejahteraan rakyat. Maka, tidak terlalu salah kalau sebagian masyarakat menganggap persepsi pertarungan yang tidak ketahuan juntrungnya itu hanya salah satu agenda mengganjal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Perdebatan mengenai demokrasi representasi sudah berlangsung sejak zaman demokrasi kuno di Athena. Agar demokrasi perwakilan tak mereduksi kedaulatan rakyat, para wakil rakyat dan rakyat harus mampu membentuk dan mengekspresikan kemauan politik yang sama. Tanpa konkurensi aspirasi antara rakyat dan wakilnya, lembaga perwakilan rakyat akan menjadi oligarki politik yang mengejar kekuasaan dan menindas rakyat (Nadia Urbinati, 2008, Representative Democracy, Principle and Genealogy).

Oleh karena itu, demokrasi perwakilan menuntut partisipasi publik serta transparansi, akuntabilitas, dan itikad baik wakil rakyat. Tanpa kontrol publik, lembaga perwakilan rakyat akan semakin kehilangan martabatnya karena tertimbun limbah nafsu serakah sehingga ranah kekuasaan kehilangan amanah, hidayah, berkah, dan marwah.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pendidikan dan Penguatan Demokrasi

Pendidikan dan Penguatan Demokrasi

Nasional
Divonis 9 Tahun Penjara di Kasus LNG, Karen Agustiawan Banding

Divonis 9 Tahun Penjara di Kasus LNG, Karen Agustiawan Banding

Nasional
Jokowi Kunker ke Kalimantan Tengah untuk Cek Bantuan Pompa Air

Jokowi Kunker ke Kalimantan Tengah untuk Cek Bantuan Pompa Air

Nasional
Saat Kominfo Mengaku Tak Takut terhadap Peretas PDN yang Minta Rp 131 Miliar, Klaim Pegawainya Kerja 24 Jam

Saat Kominfo Mengaku Tak Takut terhadap Peretas PDN yang Minta Rp 131 Miliar, Klaim Pegawainya Kerja 24 Jam

Nasional
Gerindra: Prabowo Tak Berhalangan untuk Menemui Lawan Politik

Gerindra: Prabowo Tak Berhalangan untuk Menemui Lawan Politik

Nasional
Komisi I DPR Panggil Menkominfo dan BSSN Besok, Tuntut Penjelasan soal PDN Diserang

Komisi I DPR Panggil Menkominfo dan BSSN Besok, Tuntut Penjelasan soal PDN Diserang

Nasional
Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Langsung Sasar Bandar, Prioritaskan Pencegahan

Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Langsung Sasar Bandar, Prioritaskan Pencegahan

Nasional
Pendaftaran Capim dan Dewas KPK 2024-2929 Mulai Dibuka

Pendaftaran Capim dan Dewas KPK 2024-2929 Mulai Dibuka

Nasional
PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi 'Online'

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi "Online"

Nasional
4 Bandar Besar Judi 'Online' di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

4 Bandar Besar Judi "Online" di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

Nasional
Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Nasional
Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Nasional
Ketua RT di Kasus 'Vina Cirebon' Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Ketua RT di Kasus "Vina Cirebon" Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com