Memang konteks demokrasi parlementer yang dimaksud pada waktu itu berbeda dari sekarang (dalam konteks pemilihan kepala daerah). Namun, spirit demokrasi yang dilawan pada hakikatnya sama: demokrasi yang hanya menarik bagi dan dibuat gaduh oleh pemain demokrasi.
DPR kemarin seharusnya minta maaf karena buruknya kinerja legislasi (kuantitas dan kualitas). Mereka telah banyak menyia-nyiakan waktu untuk menikmati kekuasaan. Seolah-olah hendak menunjukkan prestasi kuantitas legislasinya, DPR mengetuk palu untuk cukup banyak rancangan UU menjelang berakhirnya masa bakti mereka.
Dalam suasana ini loloslah UU Pilkada yang kontroversial isi maupun prosesnya. Alasan bahwa pilkada langsung itu mahal atau lebih besar potensi korupsinya bukan tanpa kontra argumen. Yang tak dapat disembunyikan lolosnya spirit demokrasi (liberal) parlementer. Sudah terang-benderang: UU itu untuk mengamankan jatah kepala daerah di antara sekutu koalisi. Penguasaan mayoritas kepala daerah untuk memberikan jalan bagi pemimpin koalisi meraih posisi kepala negara.
Sebenarnya rakyat tak soal siapa bakal jadi kepala daerah atau kepala negara. Dambaan rakyat adalah sosok pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Persis itulah minus demokrasi kita saat ini.
Para pemain itu terpilih secara demokratis, tetapi miskin jiwa demokrat. Sepak terjang mereka amat berjarak dengan aspirasi rakyat. Mereka mempermainkan demokrasi sebatas hitung-hitungan kekuasaan dan menjadi prosedural belaka. Negara dijadikan lapangan bagi para pemain untuk menggiring demokrasi ke arah yang mereka suka. Mahkamah Konstitusi pun ditarik untuk bermain, menuju demokrasi parlementer.
Demokrasi sejatinya sistem terbaik bagi munculnya demokrat. Tanpa kaum demokrat, demokrasi akan bergerak liar dan ditentukan mekanisme pasar. Pemenangnya pun sudah dapat diduga. Seharusnya para politisi belajar dari sejarah eksperimen demokrasi kita pada masa lampau. Para negarawan kita dituntut menjamin sebuah sistem demokrasi yang dalam jangka panjang kondusif bagi lahirnya demokrat-demokrat sejati di tingkat eksekutif dan legislatif. Kalau tidak, demokrasi akan memakan anak kandungnya sendiri.
Hatta menegaskan demokrasi Indonesia yang modern haruslah demokrasi sosial. Demokrasi itu asli Indonesia karena hidup dan bertahan di desa-desa Indonesia kendati sistem feodal juga berlaku di lapisan atas masyarakat. Ada lima anasir yang menghidupkan demokrasi sosial di desa-desa Indonesia.
Pertama, rasa perikemanusiaan. Kedua, rasa persaudaraan sebagai makhluk Tuhan berdasarkan kebenaran dan keadilan. Ketiga, sifat kolektif masyarakat Indonesia. Keempat, hak rakyat untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan raja yang dirasakan tidak adil. Kelima, hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja apabila mereka merasa tidak lagi senang hidup di sana.
Demokrasi kita sedang dalam persimpangan jalan. Demokrasi hendak dijadikan sekadar alat teknis meraih kekuasaan. Demokrasi hendak dibuat mandul, tidak melahirkan kaum demokrat, tetapi penguasa. Demokrasi hendak dibuat tunduk kepada kehendak untuk berkuasa, bukan kepada kehendak rakyat.
Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta