Yang semestinya dipahami adalah perbedaan posisi antara sebagai kepala daerah (gubernur atau wali kota) dan presiden selaku kepala pemerintahan di negeri ini. Kepala daerah bisa membuat kebijakan untuk mengisi celah kosong implementasi kebijakan pemerintah pusat. Ketika pembiayaan kesehatan warga miskin tidak semuanya dapat dipenuhi oleh dana APBN (misalnya dahulu yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas), daerah dapat mengalokasikan anggarannya untuk membiayai kesehatan warga miskin non-Jamkesmas dalam bentuk seperti KJS tersebut.
Menjadi rancu
Akan tetapi, ketika terpilih sebagai kepala pemerintahan, yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan UU, maka menjadi rancu bila presiden menetapkan kebijakan yang menafikan keberadaan peraturan perundangan yang sudah disepakati.
Barangkali akan lebih elegan bila program yang ditawarkan adalah untuk menguatkan sistem BPJS Kesehatan dengan mengadopsi keberhasilan KJS. Memang ini kesannya bukan merupakan gagasan yang orisinal, tetapi tetap bisa memberikan nilai lebih dari kondisi saat ini. Misalnya, selain meluaskan cakupan bagi warga miskin, juga mengupayakan peningkatan jumlah premi yang dibayarkan sehingga pelayanan kesehatan diharapkan dapat lebih baik lagi.
Yang tidak boleh dilupakan, UU SJSN yang merupakan cikal bakal pelaksanaan JKN adalah produk pemerintahan Megawati. Selaku Ketua Umum PDI Perjuangan, ia mengutus Jokowi jadi capres dalam Pilpres 2014.
Agus Widjanarko
Penanggung Jawab Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia(Persakmi) Kota Pasuruan