KOMPAS.com - Sejak presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004, sistem pemerintahan Indonesia beralih dari sistem kuasi-presidensial menjadi presidensial murni. Pada era Orde Baru hingga hasil Pemilu 1999, Indonesia memang dipimpin seorang presiden. Namun, dia masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab terhadap lembaga itu hingga disebut sebagai mandataris MPR.
Setelah pemilihan presiden dilakukan secara langsung pada 10 tahun lalu, presiden kini memiliki posisi setara dengan parlemen atau DPR yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya tidak bisa saling menjatuhkan. Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Sebaliknya, DPR tidak bisa melengserkan presiden dengan prosedur mosi tidak percaya seperti dalam sistem parlementer. Kalaupun DPR hendak menurunkan presiden, ada prosedur panjang pemakzulan yang melibatkan MPR dan Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan sama kuat dan tidak bisa saling menjatuhkan itu memunculkan potensi adanya kebuntuan pemerintahan, yakni ketika DPR atau presiden mogok membahas undang-undang. Presiden tidak bisa memaksa DPR dan sebaliknya, DPR tak pula bisa memaksa presiden. Kebuntuan ini dapat dihindari dalam sistem pemerintahan parlementer karena parlemen dapat membubarkan pemerintahan lewat mosi tidak percaya dan membentuk pemerintahan yang baru.
Kegagalan demokrasi presidensial terjadi di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1960-an dan 1970-an. Ketika itu, intervensi dilakukan militer di tengah kebuntuan sebagai akibat konflik legislatif dan eksekutif yang berkepanjangan. Studi-studi lintas negara juga memperlihatkan bahwa sistem presidensial berisiko lebih besar untuk mengalami kegagalan demokrasi ketimbang sistem parlementer (Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, 2014).
Kekhawatiran akan terjadinya kebuntuan yang mengundang intervensi anti demokrasi juga muncul di Indonesia pada tahun 2004. Namun, ternyata Indonesia berhasil keluar dari ancaman kebuntuan tersebut selama 10 tahun terakhir.
Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu faktor yang mendukung terhindarnya kebuntuan pemerintahan. Yudhoyono adalah orang yang mengedepankan konsensus, membangun koalisi, serta akomodatif. Dalam disertasinya, Djayadi Hanan menilai, gaya Yudhoyono itu cocok dengan perilaku elite yang juga akomodatif, sekaligus pragmatis.
Setelah 20 Oktober 2014, presiden baru akan dimiliki Indonesia. Ia akan melanjutkan pelaksanaan demokrasi presidensial multipartai khas Indonesia. Mencegah terjadinya kebuntuan pemerintahan menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi presiden mendatang. Koalisi yang dibangunnya harus bisa memastikan pemerintahan tidak terganggu.
Beberapa kalangan mengkritik praktik koalisi dan politik akomodatif yang terjadi 10 tahun terakhir. Namun, apakah presiden mendatang punya resep selain koalisi dan akomodasi agar pemerintahan tetap berjalan? (A Tomy Trinugroho)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.