Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Resep Jitu Presiden Ketujuh

Kompas.com - 08/08/2014, 14:14 WIB

KOMPAS.com - Sejak presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004, sistem pemerintahan Indonesia beralih dari sistem kuasi-presidensial menjadi presidensial murni. Pada era Orde Baru hingga hasil Pemilu 1999, Indonesia memang dipimpin seorang presiden. Namun, dia masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab terhadap lembaga itu hingga disebut sebagai mandataris MPR.

Setelah pemilihan presiden dilakukan secara langsung pada 10 tahun lalu, presiden kini memiliki posisi setara dengan parlemen atau DPR yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya tidak bisa saling menjatuhkan. Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Sebaliknya, DPR tidak bisa melengserkan presiden dengan prosedur mosi tidak percaya seperti dalam sistem parlementer. Kalaupun DPR hendak menurunkan presiden, ada prosedur panjang pemakzulan yang melibatkan MPR dan Mahkamah Konstitusi.

Kedudukan sama kuat dan tidak bisa saling menjatuhkan itu memunculkan potensi adanya kebuntuan pemerintahan, yakni ketika DPR atau presiden mogok membahas undang-undang. Presiden tidak bisa memaksa DPR dan sebaliknya, DPR tak pula bisa memaksa presiden. Kebuntuan ini dapat dihindari dalam sistem pemerintahan parlementer karena parlemen dapat membubarkan pemerintahan lewat mosi tidak percaya dan membentuk pemerintahan yang baru.

Kegagalan demokrasi presidensial terjadi di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1960-an dan 1970-an. Ketika itu, intervensi dilakukan militer di tengah kebuntuan sebagai akibat konflik legislatif dan eksekutif yang berkepanjangan. Studi-studi lintas negara juga memperlihatkan bahwa sistem presidensial berisiko lebih besar untuk mengalami kegagalan demokrasi ketimbang sistem parlementer (Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, 2014).

Kekhawatiran akan terjadinya kebuntuan yang mengundang intervensi anti demokrasi juga muncul di Indonesia pada tahun 2004. Namun, ternyata Indonesia berhasil keluar dari ancaman kebuntuan tersebut selama 10 tahun terakhir.

Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu faktor yang mendukung terhindarnya kebuntuan pemerintahan. Yudhoyono adalah orang yang mengedepankan konsensus, membangun koalisi, serta akomodatif. Dalam disertasinya, Djayadi Hanan menilai, gaya Yudhoyono itu cocok dengan perilaku elite yang juga akomodatif, sekaligus pragmatis.

Setelah 20 Oktober 2014, presiden baru akan dimiliki Indonesia. Ia akan melanjutkan pelaksanaan demokrasi presidensial multipartai khas Indonesia. Mencegah terjadinya kebuntuan pemerintahan menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi presiden mendatang. Koalisi yang dibangunnya harus bisa memastikan pemerintahan tidak terganggu.

Beberapa kalangan mengkritik praktik koalisi dan politik akomodatif yang terjadi 10 tahun terakhir. Namun, apakah presiden mendatang punya resep selain koalisi dan akomodasi agar pemerintahan tetap berjalan? (A Tomy Trinugroho)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi, Suharto Sah Jadi Wakil Ketua MA

Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi, Suharto Sah Jadi Wakil Ketua MA

Nasional
Menelusuri Gagasan Jokowi Bakal Dijadikan Penasihat Prabowo

Menelusuri Gagasan Jokowi Bakal Dijadikan Penasihat Prabowo

Nasional
Antam Raih 3 Penghargaan di Ajang CSR dan PDB Award 2024

Antam Raih 3 Penghargaan di Ajang CSR dan PDB Award 2024

Nasional
Kenakan Pakaian Serba Hitam, Sandra Dewi Penuhi Panggilan Kejagung

Kenakan Pakaian Serba Hitam, Sandra Dewi Penuhi Panggilan Kejagung

Nasional
Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa

Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa

Nasional
BNPB Kaji Rencana Relokasi Rumah Warga Dekat Sungai dari Gunung Marapi

BNPB Kaji Rencana Relokasi Rumah Warga Dekat Sungai dari Gunung Marapi

Nasional
Gelar Anugerah Jurnalistik Sahabat Bahari 2024, Kementerian KP Usung Tema 25 Tahun Transformasi Kelautan dan Perikanan

Gelar Anugerah Jurnalistik Sahabat Bahari 2024, Kementerian KP Usung Tema 25 Tahun Transformasi Kelautan dan Perikanan

Nasional
KPK Duga SYL Jalan-jalan ke Luar Negeri, tetapi Dibuat Seolah Dinas

KPK Duga SYL Jalan-jalan ke Luar Negeri, tetapi Dibuat Seolah Dinas

Nasional
Putusan MK 2011 Jadi Alasan, Revisi UU Kementerian Negara Dinilai Bakal Temui Persoalan

Putusan MK 2011 Jadi Alasan, Revisi UU Kementerian Negara Dinilai Bakal Temui Persoalan

Nasional
Tolak Revisi UU MK, Mahfud: Bisa Ganggu Independensi Hakim

Tolak Revisi UU MK, Mahfud: Bisa Ganggu Independensi Hakim

Nasional
Revisi UU Kementerian Negara Muluskan Transisi Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo-Gibran

Revisi UU Kementerian Negara Muluskan Transisi Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo-Gibran

Nasional
Korban Banjir Bandang Sumbar hingga 15 Mei: 58 Orang Meninggal Dunia, 35 Warga Hilang

Korban Banjir Bandang Sumbar hingga 15 Mei: 58 Orang Meninggal Dunia, 35 Warga Hilang

Nasional
Kemenkominfo Akan Gratiskan Pengujian Perangkat di IDTH bagi UMKM dan Startup Digital

Kemenkominfo Akan Gratiskan Pengujian Perangkat di IDTH bagi UMKM dan Startup Digital

Nasional
Kongkalikong Oknum BPK Muluskan Proyek 'Food Estate' dalam Kasus SYL, Tol MBZ, dan BTS 4G

Kongkalikong Oknum BPK Muluskan Proyek "Food Estate" dalam Kasus SYL, Tol MBZ, dan BTS 4G

Nasional
Di IPA 2024, Dirut Pertamina Beberkan Strategi Jaga Ketahanan Energi dan Kelestarian Lingkungan

Di IPA 2024, Dirut Pertamina Beberkan Strategi Jaga Ketahanan Energi dan Kelestarian Lingkungan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com