Lama kelamaan dia akan menjadi sosok yang angker, absolut, penuh mitos, dan otoriter (diktator). Pengalaman kita dengan dua presiden terdahulu (Soekarno dan Soeharto) menjadi bukti pada kekeliruan kita untuk terlalu berharap pada sosok pemimpin besar yang justru menggiring kita pada pengultusan dan mitologisasi.
Dalam konteks negara demokrasi modern sekarang, sebenarnya pengertian pemimpin negara (presiden) bukan lagi dipahami sebagai pemimpin dalam pengertian omnipotent leader, ”pemimpin segala-galanya”, tapi ia hanyalah seorang pemegang otoritas eksekutif yang, bersama-sama dengan lembaga legislatif, berwenang menentukan arah bangsa ini lima tahun ke depan. Pada diri mereka melekat hak dan kewajiban yang sudah diatur secara jelas oleh konstitusi kita. Kita tidak mencari pemimpin omnipotent, sosok sempurna yang tak ada kelemahannya, tapi kita mencari otoritas eksekutif yang mengerti persoalan konkret masyarakat, merumuskannya (dalam bentuk visi, misi, dan program), serta bersungguh-sungguh mengerjakannya tanpa dibebani macam-macam kepentingan selain kepentingan publik.
Berpijak pada filosofi kepemimpinan Minangkabau ”ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”, harus dipahami sebagai sebuah rasionalitas berdemokrasi bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu harus melewati suatu jalur kepemimpinan yang jelas, seranting demi seranting. Visi harus besar, tapi rekam jejak, kualitas pribadi, dan jalur kepemimpinan yang ia pernah lewati harus bisa ditelusuri untuk meyakinkan kepada kita bahwa ia tak sedang bermimpi dengan visi-visi besar. Di luar itu kita juga harus membangun sistem yang kuat supaya tak bergantung pada figur (pemimpin) semata.
Ilusi pemimpin besar
Menyimak diskursus publik akhir-akhir ini, di tengah gegap gempitanya kampanye calon presiden dan wakil presiden, kita melihat mulai munculnya wacana mencari pemimpin besar. Wacana itu dilandasi asumsi bahwa negara kita sedang terpuruk dengan pelbagai macam indikator: korupsi merajalela, ketimpangan ekonomi melebar, kemandirian negara berkurang, daya saing rendah, tingkat kemakmuran tak kunjung membaik, dan segudang persoalan bangsa lain. Jadi, untuk menyelesaikan krisis itu, kita memerlukan pemimpin besar.
Semangat ini bisa kita pahami, tetapi kita juga harus waspada, kemunculan pemimpin besar yang despotik, seperti Hitler, Mussolini, dan Stalin, pada awalnya disambut dengan gegap gempita karena mereka membawa janji besar dengan retorika besar, tetapi sejarah lupa mendiagnosis patologi kepribadian (dan juga rekam jejak) di balik tokoh besar tersebut. Studi yang dilakukan psikolog politik (Jerrold M Post, Seth Rosenthal, dan Todd Pittinsky) menemukan bukti bahwa retorika besar, tampilan besar, dan karisma di publik ternyata dilatarbelakangi gangguan kepribadian seperti grandiosity (merasa orang besar), narsisistik, over-ambitious, arogan, kurang empati sosial, dan kontrol emosional yang rendah. Beberapa tokoh malah dilengkapi juga dengan kecenderungan psikotik lain, seperti paranoid dan gangguan emosi bipolar (manis-depressif).
Tampaknya kita perlu lebih cermat menyikapi kecenderungan ini. Saya beruntung menemukan kearifan lokal dari peribahasa Minangkabau tadi bahwa pemimpin besar itu (kalaupun kita sepakat dia harus hadir di tengah kita) berproses seranting demi seranting, selangkah demi selangkah, lewat jalur kepemimpinan yang terukur. Ia sejatinya berasal dari kita-kita juga, ia tidak berjarak dari kita-kita, ia tidak perlu menempatkan diri lebih hebat, dan grandiour dari kita-kita.
Ia tidak perlu membombardir kita dengan retorika-retorika besar tetapi tidak realistik. Pemimpin sejati itu ternyata orang yang rendah hati: ia paham bahwa ia hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah.
Hamdi Muluk
Guru Besar Psikologi Politik; Ketua Laboratorium Psikologi Politik, Fakultas Psikologi UI