Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga NU Dilarang Dukung Jokowi atau Prabowo Pakai Bendera NU

Kompas.com - 21/05/2014, 13:15 WIB
Ihsanuddin

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin dilarang berpihak kepada pasangan tertentu dalam Pemilu Presiden 2014 mendatang. Jika ada warga NU yang menyatakan dukungannya kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atau Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, mereka dilarang mengklaim sebagai perwakilan NU.

"NU adalah organisiasi keagamaan yang tidak melakukan politik praktis. NU menyuarakan masalah politik kebangsaan, moral, etis, tetapi tidak menyuarakan politik kekuasaan sesaat," kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Slamet Effendi Yusuf saat dihubungi Kompas.com, Rabu (21/5/2014).

Saat ini, setidaknya ada beberapa tokoh NU yang mendukung pasangan Jokowi-JK, seperti Khofifah Indar Prawansa, Muhaimin Iskandar, dan Hasyim Muzadi. Sementara itu, pasangan Prabowo-Hatta didukung oleh Said Aqil Siradj dan Mahfud MD.

"Kalau mereka mendukung, itu harus atas nama pribadi, tidak boleh atas nama NU. Tidak boleh ada klaim kalau mereka warga NU saat kampanye. Tidak boleh ada bendera NU," lanjut Slamet.

Slamet menambahkan, memang pada praktiknya tidak ada sanksi yang dikenakan jika tokoh-tokoh itu mengklaim sebagai warga NU saat mendukung jagoan mereka di pilpres. Namun, menurut dia, mereka akan mendapat sanksi moral jika melanggar.

"NU tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com