Sulit membayangkan perekonomian negara akan efisien dan maju dalam budaya percaloan yang kuat seperti sekarang, sehingga Indonesia menjadi country of middlemen.
Prioritas kebijakan
Jika mampu mengatasi persoalan politik tersebut, presiden terpilih mesti fokus mengerjakan peran negara di atas.
Pertama, keamanan, yang berarti adanya kondisi yang damai untuk melakukan kegiatan ekonomi. Dalam konteks Indonesia sekarang, perlu dijaga agar konflik, seperti yang pernah terjadi di Aceh, Papua, dan Ambon, sama sekali tidak terjadi.
Kedua, menjaga keteraturan yang berkaitan langsung dengan kemudahan dan kepastian dalam melakukan aktivitas ekonomi. Smith menyebutkan perlunya perlindungan terhadap modal. Bagi para pelaku ekonomi, masalah yang harus diselesaikan presiden adalah ekonomi biaya tinggi dan proses yang berbelit, perlindungan hak milik, dan kepastian dalam proses peradilan.
Keteraturan ini akan menguntungkan pelaku ekonomi secara inklusif, bukan hanya pengusaha besar. Faktanya, usaha mikro dan kecil yang berjumlah sekitar 17 juta unit merupakan kelompok paling terdampak ekonomi biaya tinggi karena modal yang terbatas dan ketidakmampuan mengalihkan lokasi usaha.
Ketiga, mengatasi kekurangan infrastruktur yang selama ini menjadi kendala koneksi ekonomi antardaerah. Infrastruktur yang memadai tersebut bakal melahirkan pusat- pusat pertumbuhan baru di seluruh Indonesia dan di daerah pedesaan, sekaligus mengoreksi konsentrasi produk domestik bruto (PDB) di Pulau Jawa yang mencapai sekitar 56 persen.
Keempat, meningkatkan kualitas pendidikan—dengan secara strategis memanfaatkan besarnya anggaran pendidikan—yang pada gilirannya berkontribusi pada kegiatan ekonomi yang lebih produktif.
Jika mampu fokus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut, presiden terpilih akan menjadi pembeda arah ekonomi Indonesia menjadi tumbuh berkelanjutan secara inklusif. Tantangan terbesar adalah secara politis, yang justru akan datang dari partai politik dan birokrasi.
Tata Mustasya
Peneliti Senior Pol-Tracking Institute