"Belajar pada caleg yang gagal pada 2009, mereka tidak mau lagi cara berjudi. Mereka mau hasil pasti. Jadi, mereka mencari orang yang mau pasti bekerja, memastikan suara untuk mereka dan membayarnya nanti setelah waktu pemilihan atau pascabayar," jelas peneliti ICW Donal Fariz, Minggu (6/4/2014) di Jakarta.
Modus ini, kata Donal, menggunakan sistem jaringan layaknya bisnis multi level marketing (MLM). Salah satu kasus yang ditemukan di Riau, satu kandidat bisa membayar satu orang yang menjadi jaringannya Rp 2.000.000 untuk memastikan sepuluh suara.
"Mereka bahkan membuat surat perjanjian dengan materai soal pembayaran yang akan dilakukan setelah hari pemilihan," katanya.
Surat perjanjian tersebut telah dibawa mitra jaringan ICW ke Badan Pengawas Pemilu setempat sebagai bukti otentik untuk ditindaklanjuti. Namun, reaksi Bawaslu untuk menindak kandidat yang terbukti menggunakan politik uang ini, dinilai ICW lamban.
"Harusnya Bawaslu bisa menindak kandidat caleg ini dengan sanksi pidana karena mereka otaknya," katanya.
Hasil pantauan ICW bersama 15 mitra jaringan di beberapa daerah, mereka menemukan 135 kasus pelanggaran politik uang sejak kampanye terbuka 16 Maret 2014. Temuan terbanyak terdapat di Riau dengan 32 kasus, diikuti Sumatera Utara 18 kasus, Banten 16 kasus, Sulawesi Selatan 14 kasus, dan Jawa Barat 12 kasus.
Sementara, partai yang paling banyak melakukan pelanggaran politik uang adalah Partai Golkar 23 kasus, diikuti PAN 19 kasus, Demokrat 17 kasus, PDI-P 13 kasus, PPP 12 kasus dan PKS 10 kasus. Pelanggaran rentan ditemukan di daerah pemilihan Kota/Kabupaten dibandingkan Provinsi atau dapil pusat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.