Bertanyalah kepada diri sendiri, misalnya, apakah dalam sekujur hidupnya ia pernah melakukan sesuatu yang baik dan benar untuk tingkatan publik di mana ia ingin jadi pemimpinnya. Seberapa besar atau tinggi hasil kerja atau prestasinya itu. Dan jujurlah menilai diri sendiri. Apabila memang tidak sepadan, kenapa harus ngotot dan nekat? Apalagi ternyata justru banyak tindakan yang destruktif bahkan negatif pernah ia lakukan dulu, secara etis dan moralistis pantaskah Anda mengajukan diri? Tidakkah Anda merasa malu pada waktu (sejarah), keluarga, diri sendiri, Tuhan, atau sejawat yang tak bisa kita tipu? Atau Anda sudah tak punya malu, bahkan pada malu itu sendiri?
Begitupun media massa selaiknya jujur pada data yang ada dan tidak bisa dihapus oleh sejarah. Mungkin baik jika kita mulai mengurangi bahkan berhenti memainkan impresi atau persepsi yang bisa jadi sangat subyektif atau sektarian untuk lebih mengedepankan data yang pada dasarnya netral, jujur, dan valid. Berilah publik informasi yang akurat dengan penuh keberanian sehingga media massa dapat menjadi mata dan hati nurani publik, bukan justru menjadi senjata pengelabu kesadaran dan kebeningan hati masyarakat yang gelisah ini.
Jangan sampai pengorbanan besar rakyat harus diberikan pada sesuatu yang justru mengkhianati pengorbanan itu. Dari segi finansial, berhitunglah betapa luar biasa pengorbanan itu. Menurut LPEM FE UI, biaya yang dikeluarkan caleg mulai dari tingkat lokal hingga pusat berkisar Rp 320 juta-Rp 9 miliar, hingga rata-rata didapat Rp 1,18 miliar per caleg. Apabila Ketua Komisi Pemilihan Umum menyatakan jumlah caleg nasional 200.000 orang, Anda bisa memperkirakan sendiri total uang yang rakyat kita keluarkan untuk pertunjukan dengan dramaturgi yang menggelikan di atas. Tidak kurang dari Rp 227 triliun.
Ditambah dengan biaya pemilu dari APBN yang meningkat dua kali lipat, sumbangan-sumbangan yang didapat partai sebagaimana mereka laporkan, dana-dana lembaga publik, swasta, negeri hingga perorangan yang terlibat, kita semua akan tercengang. Bahwa total semua itu sebanding dengan membuat 5.675 kilometer rel kereta api ganda (cukup untuk seluruh Sumatera) atau 3.200 kilometer jalan tol (sama dengan target 25 tahun kita) atau sebanding dengan menggratiskan biaya kuliah seluruh mahasiswa Indonesia selama 32 tahun berdasarkan hitungan Mendikbud RI.
Di sinilah komedia drama pemilu ini akan berakhir menjadi tragedi. Demi sebuah pesta bernama demokrasi, demi ”prestise” ilusif di tingkat internasional, demi—katakanlah—kebebasan untuk meraih, menjadi atau bicara ”apa saja” itu, kita bersama harus mengorbankan kemampuan besar kita menyelesaikan masalah-masalah besar yang kritis di atas. Demi sebuah dramaturgi yang melulu memberi kita impresi dan persepsi, yang kita gelap dasar faktualitasnya, yang menyodorkan kita ”kebenaran” abstrak bahkan ilusif. Sungguh lucu.
Radhar Panca Dahana, Budayawan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.