KOMPAS.com -
SEBAGAI partai politik yang relatif baru, respons publik terhadap Partai Hati Nurani Rakyat saat ini cenderung positif. Pada kali kedua keikutsertaannya dalam pemilu, Hanura diperkirakan tidak lagi bercokol di papan bawah partai politik peserta pemilu, tetapi sudah akan mengancam posisi partai papan tengah yang relatif lebih punya pengalaman.

Hasil survei longitudinal Litbang Kompas menunjukkan adanya kenaikan elektabilitas Hanura yang cukup signifikan. Pada survei pertama, Desember 2012, parpol yang pada Pemilu 2009 berhasil mendudukkan 17 wakilnya di Senayan ini masih belum dilirik publik. Saat itu, Hanura hanya dipilih oleh kurang dari 1 persen responden. Enam bulan berikutnya, suara Hanura merangkak menjadi 2,7 persen. Tidak berhenti sampai di situ, pada bulan Desember 2013 meningkat menjadi 6,6 persen.

Posisi elektabilitas Hanura sebesar itu jelas mengancam posisi partai papan tengah seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera yang sepanjang satu tahun terakhir elektabilitasnya tergolong stagnan. Bukan hal yang mustahil jika perolehan suara Hanura saat pemilu nanti justru di atas partai-partai itu.

Ada berbagai penyebab meningkat pesatnya elektabilitas Hanura. Hasil survei menunjukkan, sosok Wiranto sebagai Ketua Umum Hanura turut berperan terhadap peningkatan suara partai. Popularitas Wiranto yang pernah menjadi Panglima TNI, Menteri Pertahanan Keamanan, serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada awal reformasi, sangat tinggi. Hampir seluruh responden survei ini (93 persen) mengenal sosoknya. Kualitas kepemimpinan Wiranto juga tidak kalah dengan sosok calon presiden papan atas yang menjadi pilihan publik.

Hasil survei juga menunjukkan, tingkat pengenalan Wiranto yang tinggi cukup berkorelasi dengan tingkat keterpilihannya. Dalam perkembangannya, tingkat keterpilihan Wiranto sebagai calon presiden meningkat
dari waktu ke waktu. Pada survei periode terakhir, misalnya, Wiranto didukung 6,3 persen responden.

Pada akhirnya, hasil survei ini juga menunjukkan adanya hubungan antara tingkat elektabilitas Wiranto dan elektabilitas partai. Meningkatnya elektabilitas Wiranto sejalan pula dengan peningkatan elektabilitas Hanura. Dengan perkataan lain, keberadaan sosok Wiranto dan Hanura dalam survei ini terlihat bersinergi dan tak terpisahkan. Alhasil, popularitas Wiranto dan Hanura berjalan paralel dan meningkat signifikan.

Di sisi lain, juga tidak dapat disangkal bahwa peningkatan elektabilitas Hanura dan Wiranto tak lepas dari faktor keberadaan media massa, khususnya televisi. Masifnya penetrasi media massa yang mengangkat sepak terjang partai maupun Wiranto tak lepas dari bergabungnya Hary Tanoesoedibjo ke Hanura. Setelah Hary Tanoesoedibjo menyatakan bergabung dengan Hanura, pengenalan Hanura dan Wiranto melalui jaringan media massa yang dikelola Hary Tanoesoedibjo semakin intensif dilakukan.

Apabila saat ini terjadi peningkatan dukungan pada Hanura ataupun sosok Wiranto, dukungan itu berasal dari para pemilih partai yang memang memiliki kedekatan dengan media televisi. Hasil survei ini menunjukkan, bagian terbesar dari pendukung Hanura ataupun Wiranto sebagai calon presiden memiliki perilaku konsumsi media televisi yang tinggi. Tidak kurang dari 63 persen pendukung Hanura mengaku setiap hari menonton televisi. Proporsi itu tergolong tertinggi di antara pendukung partai politik lainnya dan hanya tersaingi oleh pendukung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Karakter pemilih

Meski elektabilitas Hanura meningkat secara signifikan, bukan berarti idealisme kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat yang disodorkan partai ini diterima baik dan melekat erat pada konstituennya. Ancaman ketidakloyalan para pemilih Hanura juga terasakan.

Dengan membandingkan dua hasil survei periode terakhir, tidak kurang hanya sekitar 40 persen dari pemilih Hanura yang tergolong loyal, yang tetap bertahan memilih partai ini. Bagian terbesar adalah para pemilih yang kini berpindah ke partai politik lainnya. Terbesar, suara Hanura tersedot ke Golkar, yang notabene adalah partai yang pernah mengantar Wiranto sebagai calon presiden pada Pemilu 2004. Namun beruntung, tambahan suara pendukung lebih besar diperoleh Hanura yang juga berasal dari limpahan pemilih Golkar. Dalam sirkulasi dukungan tersebut, posisi Hanura tergolong surplus.

Adanya ketidakloyalan sebagian pendukung Hanura menjadi cerminan dari karakter psikopolitik pendukung partai ini. Berdasarkan dikotomi idealis-pragmatis, misalnya, sebagian besar pendukung Hanura adalah kalangan yang bersifat pragmatis. Mereka lebih tertarik dengan calon atau tokoh dibandingkan dengan keterikatan pada ideologi partai seperti yang diakui 60 persen pemilih Hanura. Di samping itu, karakter pendukung konservatif yang lebih cenderung mempertahankan nilai-nilai lama tampaknya lebih dominan mewarnai ketimbang yang progresif. Pada pemandangan lain, sebagian besar pendukung partai ini cenderung nyaman dengan kondisi sosial yang terstruktur (hierarkis) ketimbang yang bersifat egaliter.

Dengan barisan pendukung partai semacam itu, pangsa pendukung Hanura sebenarnya adalah pangsa bagian terbesar dari pangsa pemilih di negeri ini. Tak heran jika karakter pendukungnya memiliki kemiripan dengan para pendukung Golkar, Gerindra, ataupun Demokrat. Malah dalam beberapa aspek, pendukung Hanura pun bersinggungan dengan karakter psikopolitik partai-partai papan tengah yang kini menjadi pesaingnya.

Dalam situasi seperti itu, eksistensi politik dan sepak terjang Hanura kini yang semakin menanjak jelas menjadi ancaman besar bagi partai-partai yang telah lebih dahulu berkiprah. (Dwi Erianto/Litbang Kompas)