JAKARTA, KOMPAS.com
 — Belasan hingga puluhan persen dari nilai anggaran proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagian dirampok untuk kepentingan pejabat kementerian atau lembaga, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, makelar, dan pelaksana proyek. Perbuatan tak terpuji itu direncanakan, antara lain dengan menggelembungkan anggaran.

Hal ini antara lain terlihat dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sekitar 18 persen dari total anggaran jasa konstruksi yang direncanakan mencapai Rp 1,2 triliun selama tiga tahun, 2010-2012, diduga telah direncanakan untuk dirampok.

Teuku Bagus Mohammad Noor, mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya selaku pelaksana proyek Hambalang, menyanggupi fee 18 persen yang diajukan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, jauh sebelum pemenang tender ditentukan dan kontrak tahun jamak disetujui Kementerian Keuangan.

Dari hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan dan penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kasus Hambalang, uang proyek Hambalang yang diduga dikorupsi mencapai Rp 45 miliar. Angka itu memang belum mencapai 18 persen karena dari total rencana anggaran konstruksi Rp 1,2 triliun itu, baru cair sekitar Rp 471 miliar. Anggaran belum seluruhnya cair karena anggaran APBN 2012 untuk proyek Hambalang senilai Rp 500 miliar belum disetujui DPR dan proyek dihentikan sekitar pertengahan 2012. Ini karena kebusukan proyek Hambalang mulai tercium.

Berdasarkan surat dakwaan untuk mantan Kepala Biro Perencanaan Kemenpora Deddy Kusdinar, uang yang diduga dikorupsi bersama sebesar Rp 45 miliar antara lain mengalir ke mantan Menpora Andi Mallarangeng melalui saudaranya Choel Mallarangeng, Wafid Muharam, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, anggota DPR Mahyudin, dan Teuku Bagus Mohammad Noor. Beberapa dari mereka sudah menjadi terdakwa dan tersangka dalam kasus ini.

Simulator

Uang negara yang dirampok dalam proyek pengadaan simulator uji klinik roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 pada Korps Lalu Lintas Polri mencapai Rp 121,83 miliar. Ini berdasarkan hasil penghitungan BPK.

Uang itu didapat dengan menggelembungkan anggaran proyek simulator kendaraan roda dua dan roda empat yang totalnya sekitar Rp 200 miliar.

Berdasarkan surat dakwaan terhadap bos Citra Mandiri Metalindo Abadi, Budi Susanto, kebutuhan dana pengadaan simulator kendaraan roda dua yang dialokasikan APBN adalah Rp 56 miliar untuk 700 unit dengan harga sekitar Rp 80 juta per unit. Adapun simulator roda empat dialokasikan Rp 144 miliar untuk 556 unit seharga Rp 260 juta per unit.

Namun, menurut pengakuan bos PT Inovasi Teknologi Indonesia, Sukotjo S Bambang, harga produksi simulator kendaraan roda dua hanya sekitar Rp 43 juta dan simulator roda empat hanya sekitar Rp 80 juta. Jadi, ada penggelembungan sekitar 80 persen untuk simulator roda dua dan 225 persen untuk simulator roda empat.

Dengan demikian, biaya seluruhnya untuk pengadaan simulator hanya Rp 75 miliar-Rp 80 miliar. Namun, anggaran di APBN mencapai Rp 200 miliar.

Lalu, ke mana uang hasil penggelembungan itu mengalir? Berdasarkan surat dakwaan Budi Susanto, uang itu diduga mengalir antara lain ke Budi Susanto Rp 88,446 miliar, mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo Rp 36,934 miliar, mantan Wakil Kepala Korlantas Polri Brigadir Jenderal Didik Purnomo Rp 50 juta, dan Sukotjo S Bambang Rp 3,93 miliar.

Badan Anggaran

Penggelembungan harga dalam proyek yang didanai APBN juga terkonfirmasi dalam kasus pengurusan alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah.

Saat duduk di Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati menjanjikan membantu sejumlah daerah, seperti Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie Jaya, dan Kabupaten Bener Meriah, mendapat DPID Rp 40 miliar per daerah.

Namun, Wa Ode yang berasal dari Partai Amanat Nasional ini meminta dana komitmen sebesar 6 persen dari sejumlah daerah yang menerima alokasi DPID. Dana itu harus dibayarkan sebelum pencairan dan tender proyek dilakukan.

Untuk memenuhi permintaan Wa Ode, sejumlah daerah lalu melakukan kongkalikong dengan makelar dan perusahaan yang akan dimenangkan dalam tender proyek bersangkutan.

Kasus Hambalang, simulator, dan DPID merupakan fenomena gunung es. Bukan mustahil, banyak proyek lain di negeri ini yang didanai APBN yang anggarannya telah digelembungkan agar ada jatah untuk anggota DPR, makelar, pejabat kementerian/lembaga/pemerintah daerah, dan perusahaan pelaksana proyek.

Hal ini terlihat dari Hasil Pemeriksaan Semester I-2013, yaitu BPK menemukan ribuan kasus yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp 10,74 triliun. Sebagian besar kasus itu terkait dengan pengadaan barang dan jasa di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. (M Fajar Marta)