Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bunga Pagi-Sore dan Tongkat Bung Karno

Kompas.com - 11/06/2013, 02:34 WIB

Saat menjenguk rumah Bung Karno yang terkunci pagarnya, serombongan turis dari Jakarta turun dengan bus besar mereka. Entah karena apa, atau karena tak mau menunggu Udin membuka pintu pagar dan pintu rumah itu, 15 turis tersebut hanya berfoto-foto di depan pagar dengan riuhnya. Sekejap kemudian mereka menghilang.

Memang ada usulan untuk Udin, petugas penjaga. Kalau saja Udin dan keluarga Bung Karno di Jakarta mengizinkan pengunjung membaca atau memfotokopi enam naskah sandiwara yang ditulis Bung Karno selama di pengasingan, pengunjung akan memperoleh kegirangan baru.

Naskah sandiwara yang sudah kumal dan berjamur itu selama ini hanya dipajang, tetapi tak boleh dibaca atau dikopi sama sekali. Andai teks sandiwara itu terbuka seperti Google, publik kemudian akan tahu gagasan nasionalisme dan uraian Bung Karno tentang perjuangan kemerdekaan di awal-awal masa kebangkitan bangsa Indonesia.

Naskah itu, antara lain Dokter Setan, Kut Kut Bi, Aerodinamit, Anak Haram Jadah, Anak Iblis, dan sandiwara berdasarkan cerita rakyat Rendo Rate Rua, akan menjadi tapal penanda nasionalisme dari wilayah NTT. Adapun pergulatan perenungan hingga rumusan Pancasila oleh Bung Karno, yang konon renungannya terjadi di bawah pohon sukun di pinggir pantai Ende, layak dianggap sebagai mercusuar besar wilayah timur Indonesia.

Sekitar pukul lima sore ketika rombongan menteri yang kami ikuti meninggalkan lokasi situs pohon sukun, tempat Bung Karno sering berkontemplasi di pinggir pantai, kami memperoleh kejutan. Tidak ada orang di sana kecuali angin sejuk segar yang datang dari pantai. Mendadak terdengar suara di belakang kami, ”Sedang mencari Bung Karno, ya?”

Saya berbalik, dan seseorang dengan baju koko putih dan kopiah hitam tersenyum dengan misainya yang lebat. ”Bapak mencari Bung Karno?” katanya mengulang pertanyaannya lagi. Karena tidak mengenal sosok itu dan pertanyaan tamu yang mendadak muncul itu ”menembak” saya dengan dugaannya, saya pun menjawab dengan menembak balik dia. ”Maaf, kok, Bapak mengetahui kalau saya mencari Bung Karno...? Apa karena saya memegang daun sukun ini?”

Jawaban saya membuat orangtua itu merasa ”cocok” dan berhamburlah celotehnya. ”Nanti malam masih tinggal di Ende atau tidak? Jangan pulang dulu. Nanti malam saya ajak ketemu Bung Karno di sini kalau Bapak mau,” kata bapak tua itu tanpa ragu sedikit pun.

”Wah, menarik sekali. Masak sih ketemu Bung Karno di sini?” kata saya mengejar buntut cerita.

”Ooo, Bapak tidak tahu. Sering kali saya jumpa Bung Karno di sini. Maka, kalau Bapak belum pulang nanti malam, saya tunggu di sini di bawah pohon sukun, jumpa Bung Karno,” kata bapak tua itu tanpa memaksa.

Senja sudah gelap. Dan pilihan mengakhiri pertemuan yang mendebarkan itu harus segera saya ambil. ”Aduh, Bapak, terima kasih sekali Bapak menawari saya ke sini. Tapi saya harus melanjutkan jalan dengan rombongan saya. Saya mohon diri,” kata saya. Orang tua itu mengiyakan dan menyalami saya yang meninggalkan lapangan yang sunyi itu sambil menenteng selembar daun sukun.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com