Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bunga Pagi-Sore dan Tongkat Bung Karno

Kompas.com - 11/06/2013, 02:34 WIB

Hariadi Saptono

Perginya Ketua MPR Taufiq Kiemas, Sabtu (8/6) malam, seolah isyarat sejarah tentang Pancasila sebagai bunga pagi-sore. Bunga pagi-sore ialah bunga yang mekar di pagi hari dengan indah dan wangi semerbak dan menguncup layu di senja hari. Bunga indah yang dilupakan. 

Almarhum Taufiq Kiemas meninggal setelah mengikuti peringatan Hari Kelahiran Pancasila, sekaligus peresmian Monumen Bung Karno di Ende pada 1 Juni 2013 bersama Wakil Presiden Boediono. Tokoh politik dan negarawan suami dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu kelelahan dan kemudian dirawat di Singapore General Hospital, Singapura. Di Ende, sebagaimana Bung Karno, mertuanya yang merenungkan dan menggali Pancasila, Taufiq Kiemas meneriakkan lagi, bangsa ini harus kembali ke empat pilar berbangsa: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Itu sebabnya kepergian Taufiq Kiemas seolah menggenapi isyarat zaman bahwa negeri ini benar-benar harus merenungkan kembali empat pilar berbangsa sebagaimana dahulu dirumuskan Bung Karno.

Lebih dari setahun lalu, 3 April 2012, kami menemukan fakta baru tentang Bung Karno. Founding father Indonesia yang karismatis itu ternyata memiliki dua tongkat yang menemaninya dalam pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda selama empat tahun di Ende, 1934- 1938. Bung Karno memiliki tongkat berkepala monyet dan tongkat berkepala rotan berpilin. Tongkat monyet kayu yang masih gilap itu berdiameter sekitar 3 sentimeter, hampir sama dengan tongkat berkepala rotan.

Syafruddin Pua Ita (30) alias Udin, juru pelihara situs bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, kota Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), bercerita tentang kedua tongkat itu. Tongkat monyet selalu dibawa Bung Karno saat pejuang kemerdekaan Indonesia itu berjalan-jalan dan bertemu dengan masyarakat di dalam kota. Saat ke luar kota, misalnya saat bersama konco-konconya penduduk Ende pesiar dan berenang di Sungai Nangaba, sekitar 8 kilometer dari kota Ende, Bung Karno selalu membawa tongkat berkepala rotan berpilin.

Rupanya timbul cerita di kalangan penduduk tua di sana perihal dua tongkat yang kini disimpan di museum Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende itu. ”Tongkat monyet itu dibawa Bung Karno kalau jalan- jalan di kota Ende. Saat bertemu dengan orang Belanda, dia mengacungkan gagang monyet itu. Belanda monyet!” kata Udin sambil tertawa. Sedangkan saat mengelilingi dan mengatur desa, Bung Karno menggunakan rotan yang berpilin. Konon rotan berpilin bermakna keharusan tetap merangkul dan menjalin persaudaraan dan ikatan kebangsaan. Menurut Udin, cerita itu didengarnya langsung dari orang-orang tua teman Bung Karno dulu.

Betapa eloknya warisan Bung Karno dengan dua tongkatnya yang dipajang di bufet kaca di rumah sederhana berukuran 9 x 12 meter itu. Dikucilkan dari masyarakat Hindia Belanda di Jawa dalam masa pergerakan di Bandung, Bung Karno ”terpenjara” di Pulau Flores bersama istrinya, Inggit Garnasih, putra angkat mereka, Ratna Djuami (Omi), serta mertua perempuan Bung Karno, Ny Amsi.

Kembang pagi-sore

Nasionalisme dan wacana kebangsaan di negeri ini seperti kembang pagi-sore, timbul-tenggelam, bagai datang dan perginya rombongan turis di situs-situs sejarah Bung Karno itu. Bersama kehadiran situs monumental Taman Pancasila (yang lalu diresmikan menjadi Monumen Bung Karno karya pematung Jakarta, Hanafi) serta situs Makam Ibu Amsi, semuanya di Ende, tiga peninggalan Bung Karno itu sebenarnya menjadi magnet wilayah Indonesia timur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com