Hasrullah, pengajar Komunikasi Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, ketika dihubungi kemarin mengemukakan, selain menimbulkan ancaman bagi aparat negara, terutama polisi, fenomena itu juga menebarkan rasa tidak aman bagi masyarakat.
”Ironisnya, Poso hanya diperhatikan jika terjadi letupan. Setelah itu tak dipandang lagi. Kalaupun diperhatikan, sifatnya lebih represif dan tidak menyeluruh pada aspek sosial-ekonomi,” ujarnya.
Hasrullah yang pernah meneliti konflik Poso mengungkapkan, pertikaian di daerah tersebut berawal dari sentimen berbau agama tahun 1999. Namun, ketika sentimen horizontal kemudian selesai, dan masyarakat berbeda agama hidup rukun berdampingan, belakangan muncul gerakan radikal antinegara.
”Gerakan radikal inilah yang terus menguat yang menelan korban di pihak aparat keamanan dan kalangan sipil,” kata Hasrullah.
Bom tersebut diledakkan oleh seorang pria tak dikenal pada Senin pukul 08.03 di depan Masjid At-Taqwa, sekitar 15 meter dari pos penjagaan gerbang Markas Polres. Pelaku yang diperkirakan berusia 30-35 tahun tewas dengan tubuh terkoyak.
Kepala Kepolisian Resor Poso Ajun Komisaris Besar Susnadi mengatakan, sebelum peristiwa terjadi, pelaku mengendarai sepeda motor menerobos masuk halaman gerbang tanpa mengindahkan teguran dari petugas pos penjagaan. Di bagian badannya menempel tas plastik.
Hafid (59), saksi mata, menyebut peristiwa itu begitu cepat. Pekerja bangunan itu tengah bekerja di masjid saat ledakan terjadi. Ia mengaku belum sempat melihat pelaku saat ledakan terdengar. Dia langsung lari ke bagian belakang masjid, tetapi lengan kirinya tak luput terkena serpihan bom.
Menurut Kapolres, bom yang meledak adalah jenis bom rakitan. Cirinya, antara lain, dari banyaknya gotri dan paku berukuran 10 cm di lokasi bekas ledakan. Jenazah korban sekaligus pelaku diberangkatkan ke Rumah Sakit Bhayangkara, Palu.
Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Suhardi Alius mengatakan, tim penjinak bom Polri mendalami serpihan bom bunuh diri di Polres Poso.