Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkonflik Tanpa Kekerasan

Kompas.com - 13/05/2013, 02:39 WIB

Novri Susan

Pada sistem demokrasi, salah satu ciri pengelolaan konflik politik yang buruk adalah mobilisasi kekerasan sampai pada level perusakan, teror, dan pembunuhan.

Contoh aktual: kekerasan dalam konflik politik dengan isu pemekaran wilayah di Muara Rupit, Sumatera Selatan, pada akhir April 2013 yang menewaskan empat warga.

Konflik politik yang sering melibatkan sentimen identitas dan heterogonitas kepentingan mampu menciptakan eskalasi ketegangan yang berlanjut pada praktik kekerasan, terutama pada situasi di mana komunikasi inklusif sebagai metode untuk mengungkapkan aspirasi dan negosiasi tak tersedia. Alhasil, konflik kekerasan di Muara Rupit mengindikasikan bahwa komunikasi inklusif telah gagal dikonstruksikan oleh para aktor berkonflik di dalamnya, baik aktor negara maupun non-negara.

Kelembagaan dialog

Komunikasi inklusif merupakan proses dinamis dari berbagai kepentingan untuk melakukan transformasi konflik, yaitu mengubah konflik menjadi pemecahan masalah yang konstruktif. Pada komunikasi inklusif, setiap aktor berkonflik berada pada relasi kuasa yang setara dan berpeluang sama dalam beraspirasi tanpa penggunaan kekerasan. Komunikasi inklusif sendiri butuh dua materi dasar: kelembagaan dialog dan kesadaran subyektif para aktor berkonflik.

Pada sistem demokrasi, kelembagaan dialog jadi bagian dari fungsi lembaga negara. Kelembagaan dialog secara normatif telah diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan sehingga negara harus menyediakan kelembagaan dialog untuk mengelola konflik politik secara konstruktif. Kelembagaan dialog memasukkan setiap aktor berkonflik ke dalam aturan main, yang salah satu substansi pentingnya adalah praktik nir-kekerasan.

Praktik nir-kekerasan selalu memungkinkan terjadi pertukaran informasi dan saling memahami tentang cara menyelesaikan masalah secara diskursif. Fase kesalingpahaman akan diikuti oleh kondisi konsensus di mana para aktor berkonflik harus mengikuti dan melaksanakan isi pemecahan masalah. Namun, dalam konteks konflik politik, kelembagaan dialog butuh niat baik dari kepemimpinan dalam struktur kekuasaan negara. Sebab, kelembagaan dialog pada dasarnya mengorbankan kepentingan sempit elitis dengan mengutamakan kepentingan umum.

Sayangnya, salah satu paradoks politik demokrasi Indonesia sesungguhnya terlihat dari keengganan kepemimpinan dalam struktur kekuasaan negara menyediakan kelembagaan dialog. Kuatnya kepentingan sempit para elite sering kali menghalangi kelembagaan dialog diciptakan dalam rangka mengelola konflik.

Akibatnya, konflik-konflik politik terkait isu sumber daya alam, tata ruang perkotaan, dan pemekaran wilayah disarati oleh mobilisasi kekerasan aktor negara. Hanya beberapa kasus kepemimpinan negara, terutama di level daerah, yang berani menyediakan kelembagaan dialog untuk mengelola konflik politik.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com