Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Kasus Susno, MA Harus Lebih Cermat

Kompas.com - 30/04/2013, 06:30 WIB
Ilham Khoiri

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung harus lebih cermat dan teliti dalam membuat keputusan agar memberikan kepastian hukum.

Demikian pelajaran yang semestinya diambil oleh lembaga yudikatif itu dari kegagalan eksekusi atas Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji, terhambat akibat adanya celah perdebatan dalam keputusan.

"Kita harus merenungkan bersama masalah ini untuk perbaikan ketatanegaraan kita. Kita jangan emosi mlihat fenomena ini," kata pengamat hukum tatanegara, Andi Irmanputra Sidin, di Jakarta, Senin (29/4/2013).

Sebagaimana diberitakan, tim gabungan kejaksaan gagal mengeksekusi mantan Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji, di rumahnya di Resor Dago Pakar, Bandung, Rabu lalu. Padahal, Susno akan dibawa ke LP Sukamiskin, Bandung, karena dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara.

Susno dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari senilai Rp 500 miliar dan kasus dana pengamanan Pilkada Jabar 2008 senilai Rp 8 miliar saat menjadi Kapolda Jabar.

Susno mengajukan kasasi, tetapi ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Pihak Susno dan tim pengacaranya mempersoalkan tidak dicantumkannya Pasal 197 Ayat (1) Huruf k KUHAP terkait perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan di dalam putusan MA.

Menurut Andi Irmanputra Sidin, kalaulah selama ini putusan MA dianggap tidak bermasalah itu lebih karena memang tidak ada orang yang mempersoalkannya. Apalagi, jaksa ekskutor punya kekuatan upaya paksa untuk melakukannya sehingga terdakwa tidak bisa mengelak. Padahal, tidak dicantumkannya perintah supaya terdakwa ditahan merupakan hal penting.

"Alasan Susno dan pengacaranya tentang tidak adanya perintah perintah penahanan itu memang soal administratif. Tapi, itu bukan isapan jempol. Ternyata, dalam perkembangan hukum modern, soal administrasi itu juga dianggap substantif," katanya.

Kesempurnaan administrasi merupakan masalah serius sehingga, jika kurang, bisa membuka peluang diperdebatkan. Undang-undang, misalnya, bisa dibatalkan, jika prosenya tidak memenuhi prosedur dan tatacara pembuatan perundang-undangan. Begitu pula seorang pegawai negeri sipil bisa gagal diangkat menteri karena belum terpenuhi eselonnya. Kepala daerah pilihan langsung rakyat juga tak bisa dilantik, jika administrasinya belum beres.

"Perkembangan konsitusi modern menuntut kelengkapan administrasi termasuk kesempurnaan teks putusan hukum. Untuk itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian agar suatu keputusan dapat memberikan kepastian pada subyek hukum," katanya.

Kasus ini semestinya jadi pelajaran bagi MA agar lebih cermat dalam membuat keputusan agar tidak membuka perdebatan, bahkan kebingungan bagi subyek hukum. "Ada problem di lingkungan yudikatif yang harus diperbaiki. Persoalan yang dianggap sepele dan administratif pun harus diperhatikan dan dipenuhi agar memberikan kepastian hukum," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

    Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

    Nasional
    Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

    Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

    Nasional
    Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

    Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

    Nasional
    Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

    Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

    Nasional
    Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

    Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

    Nasional
    'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

    "Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

    Nasional
    Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

    Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

    Nasional
    PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

    PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

    Nasional
    Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

    Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

    Nasional
    Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

    Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

    Nasional
    Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

    Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

    Nasional
    Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

    Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

    Nasional
    KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

    KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

    Nasional
    TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

    TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

    Nasional
    Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

    Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com