JAKARTA, KOMPAS.com — "Yuhuuu Tipikor akan ramai lagi," begitu teriak seorang wartawan. Teman-teman lainnya menimpali, "Asyik ke Tipikor lagi." Itulah beberapa ekspresi, betapa mereka sudah lama tak pernah meliput di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Betapa riangnya para awak media yang biasa liputan di Pengadilan Tipikor Jakarta mendengar kabar kasus dugaan pencucian uang dan korupsi proyek simulator ujian mengemudi yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo akan segera disidangkan. Harinya pun dianggap tepat, yaitu Selasa (23/4/2013). Hari Selasa biasanya sepi sidang.
Juru Bicara Pengadilan Tipikor Sujatmiko sudah memastikan sidang akan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Suhartoyo. Pekan depan, pembacaan dakwaan yang konon tebalnya mencapai 1,2 meter akan dilakukan oleh jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kabar ini seolah hujan di musim kemarau yang dinanti-nantikan banyak pihak. Selama ini, ketika KPK hanya menyisakan satu sidang, yaitu perkara korupsi penggandaan Al Quran dan pengadaan komputer madrasah tsanawiyah, suasana di Pengadilan Tipikor seolah mati suri.
Korupsi seolah berhenti sejenak di negeri ini. Sesuatu yang ironis dengan maraknya korupsi di berbagai lini. Sepinya Pengadilan Tipikor merupakan buntut dari limbungnya KPK akibat para penyidiknya ditarik oleh Polri beberapa bulan lalu.
Penarikan penyidik oleh Polri yang kontroversial itu jika dirunut juga ada kaitannya dengan sikap KPK yang begitu tegas ketika menangani perkara dugaan korupsi simulator berkendara yang terkait pejabat teras di kepolisian. Kini, setelah sekian bulan pergulatan KPK vs Polri itu berlangsung, pekan depan kredibilitas KPK akan diuji dalam penyusunan dakwaan terhadap sang jenderal.
Sepi tanpa KPK
Pengadilan Tipikor Jakarta tanpa KPK ibarat sayur tanpa garam, ibarat tokoh kartun Tom tanpa Jerry. Sepi berbulan-bulan melanda Pengadilan Tipikor. Sejak pertengahan Maret 2013, tak ada lagi kisah-kisah para koruptor yang digelandang para penegak hukum ke pengadilan yang menghiasi media massa.
Isak tangis Neneng Sri Wahyuni saat mendengarkan vonis pada 14 Maret lalu adalah drama terakhir yang kita saksikan. Neneng adalah terpidana korupsi pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Setelah Neneng, awak media terutama televisi "kukut" dari Pengadilan Tipikor Jakarta dengan berbagai peralatannya. Suasana Pengadilan Tipikor Jakarta menjadi damai, seolah korupsi berhenti bekerja.
Di hari Kamis, sesekali pengunjung masih mendatangi Pengadilan Tipikor ketika sidang korupsi penggandaan Al Quran dan pengadaan laboratorium komputer madrasah tsanawiyah di Kementerian Agama berlangsung. Terdakwanya adalah anggota DPR Zulkarnaen Djabar dan putranya, Dendy Prasetya.
Hari Kamis seolah mereka berziarah, sebagai pengingat bahwa korupsi di Indonesia masih ada dan pemberantasannya masih terdengar walau terasa sayup. Tanpa kasus-kasus dari KPK, Pengadilan Tipikor bak tak memiliki energi hidup.
Memang masih ada perkara yang ditangani Kejaksaan. Namun, sidang-sidang itu selalu sepi karena biasanya hanya mencokok pelaku-pelaku level bawah. Prestasi Kejaksaan dianggap sudah lewat tahun lalu, ketika menangani kasus terakhir yang menyedot pemberitaan, yaitu korupsi perpajakan yang melibatkan Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika.
Kasus-kasus kejaksaan
Kejaksaan Agung masih banyak menyisakan kasus di Pengadilan Tipikor, salah satunya dugaan korupsi bioremediasi fiktif yang menjerat PT Chevron Pacific Indonesia. Tiga orang dari Chevron dan dua orang dari pihak kontraktor menjadi terdakwa. Mereka biasanya disidangkan pada Senin, Rabu, dan Jumat. Praktis, saat ini Pengadilan Tipikor Jakarta dikuasai Kejaksaan.