JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah pengamat politik dan pakar hukum menyesali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkap jabatan dengan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Mereka membuat pernyataan sikap, yang salah satunya menyatakan SBY telah melakukan pelanggaran kode etik dengan tindakan tersebut. Ada enam pernyataan yang dilontarkan terkait rangkap jabatan SBY ini.
"Dalam pernyataannya, SBY menyatakan bahwa upaya yang dilakukannya merupakan bentuk penyelamatan Partai Demokrat, dia pun siap menerima kritik. Ini menunjukkan SBY sudah mendahulukan kepentingan partai daripada kepentingan bangsa dan negara," sebut Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, di kantor Concern ABN, Rabu (3/4/2013). Selain Ray, kecaman ini dinyatakan juga antara lain oleh pendiri Constitution Center, Adnan Buyung Nasution dan mantan hakim konstitusi Mohamad Laica Marzuki.
Menurut mereka, seharusnya ada pembatasan soal rangkap jabatan presiden. Tujuannya, menghindari konflik kepentingan dan menghindarkan kesan bahwa presiden tidak mengayomi rakyat. Ray pun berpendapat rangkap jabatan bagi presiden dan wakil presiden juga perlu diatur seperti larangan jabatan bagi anggota Dewan Pertimbangan Presiden sesuai pasal 12 Ayat 1 Huruf d UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
Lalu, lanjut Ray, harus ada larangan rangkap jabatan untuk presiden dan wakil presiden, seperti halnya larangan serupa bagi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Larangan untuk para anggota legislatif diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 Huruf m UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD.
SBY, kecam Ray, menegur para menterinya agar mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan partai tapi justru merangkap lebih dari satu jabatan di partai politik. "(Maka) keputusan SBY dengan menjabat Ketua Umum, Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan Ketua Majelis tinggi Partai Demokrat, nyata-nyata merupakan pelanggaran etika politik," ujarnya.
Langkah SBY mengangkat anaknya Edhie Baskoro Yudhoyono menjadi Sekjen Partai Demokrat, menurut Ray, menunjukkan SBY telah melakukan nepotisme politik. "Bagaimana mungkin partai yang dikuasai oleh satu keluarga bisa berkembang. Menurut kami hal itu sudah melanggar Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN," katanya.
Berita terkait dapat dibaca dalam topik: Krisis Demokrat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.