Kegiatan penjualan senjata dan penyewaan senjata terjadi di dalam jejaring kejahatan itu. Kelompok-kelompok inilah yang melakukan pembunuhan tak beradab terhadap penduduk sipil yang melawan konvensi internasional tentang hukum kemanusiaan (humanitarian law) sehingga dikategorikan sebagai pelaku dari kejahatan perang (war crime).
Setelah masa perang usai, beberapa tokoh kejahatan di negeri itu bahkan disebutkan telah pula menggunakan kekayaan yang telah diperolehnya dengan cara tidak benar itu untuk melaksanakan kegiatan bisnis. Swastanisasi yang dilakukan oleh pemerintah seusai masa perang tampaknya telah memberikan jalan masuk dan memudahkan mereka untuk ”melegitimasi” kegiatan bisnisnya. Beberapa dari mereka juga terus mendapatkan perlindungan dari negara karena jejaring koneksi yang telah dibangun sebelumnya. Beberapa juga mendirikan kegiatan usaha ”lembaga-lembaga keamanan” swasta.
Berdasarkan pengalaman Yugoslavia ini, Brammerts telah mengusulkan penyidikan dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan perang haruslah disertai dengan tindakan penghukuman terhadap kejahatan terorganisasi (organized crime). Untuk itu, Brammerts menyarankan, penyidikan dan penghukuman atas pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional dilakukan secara bersamaan dengan pelanggaran hukum kasus korupsi dan kejahatan yang terorganisasi.
Penulis yakin kita belum memasuki pintu krisis seperti keruntuhan Yugoslavia pada masa lalu. Namun, para petinggi negara yang menangani instrumen kekerasan sangat perlu menyadari jangan sampai tragedi LP Cebongan menyampaikan sinyal bahwa Indonesia memiliki batalyon siluman, seperti Convicts, Scorpion, Arkan Tiger, dan Juka, seperti di Yugoslavia pada masa lalu. Karena itu, pelakunya harus ditemukan. Sebab yang kini dipertaruhkan adalah martabat manusia dan martabat negara!