Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usut Pembocor Sprindik

Kompas.com - 13/02/2013, 03:27 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi serius akan menindak pembocor dokumen yang diduga draf surat perintah penyidikan terhadap Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. KPK telah membentuk tim investigasi untuk mengusut dugaan kebocoran tersebut.

Mekanisme dewan pertimbangan pegawai dan komite etik dibentuk jika pembocornya terbukti berasal dari dalam KPK. Jika pelaku pembocor dokumen ternyata levelnya berada di bawah komisioner, akan dibentuk dewan pertimbangan pegawai untuk menyidangkannya. Jika ternyata pembocor dokumen tersebut merupakan salah satu komisioner KPK, akan dibentuk komite etik untuk mengusutnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP di Jakarta, Selasa (12/2), mengatakan, pimpinan KPK telah memerintahkan Deputi Pengaduan Masyarakat dan Pengawasan Internal KPK untuk membentuk tim investigasi guna mengusut dugaan bocornya dokumen yang diduga draf surat perintah penyidikan (sprindik) atas tersangka Anas tersebut. Tim yang disepakati dibentuk pada Senin (11/2) malam itu akan bekerja untuk memastikan apakah dokumen yang bocor itu berasal dari KPK atau bukan.

”Pimpinan telah memerintahkan membentuk tim yang bertugas, antara lain, pertama, melakukan investigasi lebih mendalam, apakah kopi dokumen yang beredar di media massa, berkaitan dengan dokumen di KPK atau tidak. Hari ini (kemarin) timnya dibentuk. Dari hasil investigasi inilah akan dilakukan upaya-upaya di KPK untuk menyimpulkan dokumen itu berasal dari KPK atau bukan. Apakah dokumen yang beredar itu memang dimiliki KPK,” papar Johan.

Dalam kasus kebocoran dokumen itu diisukan ada keterlibatan staf dari staf khusus Istana Kepresidenan. Namun, pihak istana telah menginvestigasi ke dalam dan hasilnya tidak benar ada pembocoran sprindik KPK oleh pihak-pihak di lingkungan Istana. ”Hal (pembocoran sprindik) itu tidak pernah dilakukan oleh pihak Istana,” kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha.

Menurut Julian, Presiden sangat menghormati KPK dalam menjalankan kewenangannya. Presiden juga tidak pernah melakukan intervensi terhadap tugas dan kewenangan KPK.

Jikalau muncul berita ada staf dari staf khusus presiden berkaitan dengan bocornya sprindik KPK, menurut Julian, hal itu tidak benar. ”Kami telah mengetahui dan saya sendiri sudah berbicara kepada yang bersangkutan bahwa itu dijelaskan tidak demikian adanya,” ujarnya.

KPK meminta agar spekulasi seputar dugaan kebocoran dokumen yang diduga draf sprindik ini dihentikan. ”Sebelum ada hasil tim investigasi, kita hentikan dulu spekulasi yang berkembang atau analisis yang berkembang. Semua belum tentu benar. Sebaiknya kita tunggu keputusan atau hasil tim yang sudah dibentuk pimpinan KPK tersebut,” tuturnya.

Johan memastikan dokumen yang beredar tersebut, kalaupun berasal dari KPK, bukanlah sprindik. Menurut dia, jika benar itu dokumen KPK, maka masih berupa draf sprindik. ”Yang pasti itu diduga draf sprindik atau draf persetujuan sprindik. Karena tidak sekadar kertas, ini harus divalidasi betul, apakah yang beredar itu dokumen dari KPK atau bukan,” ujarnya.

Paling lambat satu pekan sejak tim bekerja kemarin, Johan mengatakan akan dipastikan apakah dokumen yang beredar tersebut berasal dari KPK atau bukan. ”Untuk mengetahuinya, saya kira tidak sampai seminggu. Pekan depan pasti sudah ada jawaban. Putusan pimpinan yang akan beri klarifikasi,” ujarnya.

Jika memang dokumen yang beredar tersebut berasal dari KPK, ujar Johan, institusinya tak ragu untuk menindak pembocornya. Mekanisme dewan pertimbangan pegawai (DPP) bisa memberikan sanksi berupa pemecatan, penurunan golongan, hingga teguran. DPP terdiri dari sekretaris jenderal dan perwakilan wadah pegawai.

Sementara untuk komite etik, pimpinan yang diduga terlibat tidak akan diikutsertakan dalam membentuk komite etik. Pembentukan komite etik diserahkan kepada penasihat KPK. Komposisinya kebanyakan berasal dari tokoh-tokoh di luar KPK yang dinilai memiliki integritas tinggi. Anggota komite etik biasanya selalu ganjil sehingga, jika jumlahnya tujuh orang, empat orang di antaranya berasal dari luar KPK. Tiga orang lagi akan diisi oleh penasihat dan pimpinan KPK yang tak terlibat.

Kemungkinan pembentukan komite etik ini terkait dengan informasi seputar proses penerbitan sprindik yang hanya diketahui mereka yang memiliki jabatan penting di KPK, termasuk pimpinan. Johan mengatakan, informasi seputar penerbitan sprindik hanya diketahui oleh direktur penyelidikan, direktur penyidikan, deputi penindakan, pimpinan KPK, dan penyidik di satuan tugas kasus tersebut.

”PI (pengawas internal) sedang bekerja. Hasil PI yang kelak akan menentukan soal dokumen yang tersebar itu, pihak yang diduga pelakunya, serta indikasi pelanggarannya,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Berdasarkan informasi yang beredar, dokumen tersebut merupakan draf sprindik dan diparaf tiga pimpinan KPK, termasuk Ketua KPK Abraham Samad, pada Kamis pekan lalu. Dua wakil ketua KPK lainnya tak memaraf karena sedang bertugas di luar Jakarta.

Namun, pada Jumat pagi, salah satu dari dua pimpinan KPK yang memaraf draf tersebut mencabutnya karena belum ada gelar perkara besar yang dihadiri pimpinan lengkap. Pimpinan KPK yang mencabut parafnya tersebut sempat terus dilobi agar membatalkan keputusannya. Namun, karena bersikukuh tak mau memaraf draf sprindik tersebut, akhirnya draf itu pun kembali mentah untuk bisa dijadikan dokumen sprindik resmi.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra mengungkapkan, KPK harus memperketat pengawasan internal, baik terhadap pimpinan maupun pegawai KPK, menyusul bocornya sprindik itu. Kebocoran informasi semacam itu bisa berbahaya bagi KPK.

”Selama ini kita dengar ada yang bocor. Kejadian ini memperkuat dugaan ada yang tidak benar di dalam (KPK). Kalau begitu, kan, gampang dipolitisir. Apalagi surat itu keluar dalam situasi yang tepat ketika terjadi kekisruhan di Partai Demokrat. Soal-soal seperti ini KPK harus ketat,” ungkap Saldi Isra.

Menurut Saldi, ujian pertama KPK setelah dugaan kebocoran draf sprindik itu adalah menemukan pelakunya. Mekanisme ini sekaligus menjadi ujian bagaimana sistem pengawasan internal tersebut bekerja.(BIL/WHY/ANA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com