Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman Ikut Seleksi Hakim Agung di Indonesia

Kompas.com - 13/02/2013, 02:21 WIB

Hemat penulis, jadikanlah MA yang pertama memproses seleksi awal kandidat hakim agung seperti yang sudah dilakukan MA selama ini ketika melakukan uji pantas dan layak terhadap para kandidat ketua pengadilan kelas IA khusus, dan bukan lagi hanya sekadar mengirimkan dan mengusulkan daftar nama calon hakim agung kepada KY.

Penulis tidak sependapat jika awal seleksi calon hakim agung dilakukan lewat DPR seperti yang diusulkan mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga (Kompas, 5/2). Mengapa? Sebab, MA-lah yang lebih mengetahui rekam jejak para hakim Indonesia. Seleksi yang dilakukan KY selama ini menyangkut kemampuan teknis peradilan sebaiknya diserahkan kepada MA sebab MA yang paling tahu teknis peradilan, mulai dari mengadili perkara hingga eksekusi dan administrasi perkara.

Bagaimana mungkin diperoleh kualitas kandidat yang ideal jika para kandidat itu diuji oleh yang bukan hakim di KY. Penulis percaya, para tenaga ahli/pakar atau mantan hakim agung yang dijadikan KY untuk menyeleksi para kandidat hakim agung sudah bagus. Namun, akan lebih bagus lagi jika yang menyeleksi kompetensi teknis peradilan dan administrasi peradilan itu pertama sekali diserahkan kepada para ketua muda hakim agung di MA sesuai bidang masing-masing calon berdasarkan sistem kamar yang berlaku di MA.

Setelah tahapan di MA dilewati, barulah secara resmi pemimpin MA mengirimkan daftar nama calon hakim agung yang layak diseleksi oleh KY dengan komposisi, menurut penulis, sebaiknya 1:2, bukan seperti seka- rang 1:3. Jika perbandingannya 1:3, sama saja kita tidak konsekuen memilih figur yang lebih tepat dan layak. Terlalu banyak alternatif semakin tidak tepat pilihan kita.

Kemudian, KY melakukan uji kelayakan terhadap kandidat yang dikirimkan MA melalui hasil penelusuran data awal ketika KY turun ke lapangan untuk mengetahui rekam jejak kandidat lewat profile assessment, uji kesehatan, rekam jejak calon, dengan melibatkan elemen masyarakat melakukan investigasi terhadap berbagai kode etik perilaku hakim, harta benda yang tidak wajar, membuat makalah, hingga melakukan uji kelayakan seperti yang dilakukan Komisi III DPR selama ini.

Baru kemudian KY memilih di antara calon yang dipandang lebih cakap dari yang cakap. Dari hasil penilaian KY yang secara ketat ini, barulah nama-nama kandidat tersebut diteruskan KY kepada presiden untuk ditetapkan oleh presiden, bukan lewat DPR lagi.

Mengapa? Tanpa mengurangi rasa hormat kepada DPR, hemat penulis, sangat berlebihan apabila profesi hakim harus diseleksi lewat DPR. Sekalipun profesi hakim menurut UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY kini jabatan hakim agung merupakan jabatan publik, hemat penulis, jabatan hakim agung itu bukanlah jabatan politis. Jabatan hakim agung itu tidak perlu mendapat rekomendasi dari DPR kepada presiden. Cukup melalui KY kepada presiden.

Kalau mekanisme prosedur pemilihan calon hakim agung ini dapat disederhanakan, mengapa harus diperpanjang yang akhirnya merupakan pemborosan uang negara?

Binsar M Gultom Hakim PN Kelas IA Bengkulu; Dosen Pascasarjana Universitas Bengkulu

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com