Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Korupsi Batu Sandungan Parpol

Kompas.com - 11/02/2013, 02:16 WIB

Setali tiga uang dengan PKS, Partai Demokrat yang mengusung slogan ”Katakan Tidak pada Korupsi” dua tahun terakhir ini menjadi sorotan publik. Citra Demokrat sebagai parpol yang bertekad memerangi korupsi rontok seiring ditetapkannya sejumlah petinggi partai sebagai tersangka korupsi. Sebanyak 87 persen responden mengaku kecewa dengan keterlibatan sejumlah elite Demokrat.

Selain memerosotkan citra partai, kasus korupsi yang melibatkan elite Demokrat sudah ditengarai sejumlah survei akan memengaruhi elektabilitas. Berdasarkan survei tatap muka Kompas Desember 2012 lalu, jika pemilu dilakukan saat itu, Demokrat hanya diminati sekitar 11 persen responden. Sementara dari hasil jajak pendapat Kompas minggu lalu, Partai Demokrat hanya diminati 5,67 persen responden perkotaan. Kedua gambaran proporsi tersebut menunjukkan kemerosotan drastis dari puncak perolehan suara Demokrat pada Pemilu 2009 sebesar 20,8 persen. Wajar jika mayoritas responden memandang kecil peluang Demokrat memenangi Pemilu 2014.

Dalam jajak pendapat ini, tingkat perpindahan suara pemilih Demokrat tampak lebih besar daripada pola yang terjadi pada PKS. Hampir 18 persen responden pemilih Demokrat menegaskan akan memilih partai lain. Hanya sekitar 12 persen yang menyatakan tetap memilih Demokrat. Sementara proporsi responden yang menyatakan pikir-pikir sebanyak 37 persen.

Setidaknya terlacak dua pola migrasi pemilih Demokrat. Pertama, mereka yang mengalihkan dukungannya kepada parpol lain. Tak kurang dari 16 persen responden yang meninggalkan Demokrat akan mengalihkan pilihan ke Partai Golkar, kemudian Gerindra, dan baru paling akhir ke PDI-P. Kedua, sekitar 33 persen responden lain belum menyatakan pilihan parpol.

Rencana perpindahan pilihan parpol yang dinyatakan publik juga mengindikasikan, pemilih Demokrat lebih condong menjadi pemilih Golkar atau Gerindra ketimbang PDI-P. Hal ini bisa dipahami karena posisi Demokrat dan PDI-P yang secara garis politik praktis dan unsur ketokohan berseberangan meski sama-sama berasas nasionalis. Juga sangat sedikit rencana perpindahan pemilih Demokrat ke parpol berasas Islam.

Dari sisi kemampuan ”retensi” parpol atas konstituen terlihat Demokrat memiliki aspek yang lebih beragam ketimbang PKS. Di mata pemilih Demokrat yang tetap akan memilih partai ini, unsur yang paling menarik dari Demokrat adalah faktor Susilo Bambang Yudhoyono dan unsur program partai. Selain itu, cukup besar pula proporsi responden pemilih Demokrat yang menilai partai-partai yang ada saat ini belum menarik.

Dalam kasus Demokrat, keterpurukan partai terlihat cukup kompleks dan berlangsung di saat bersamaan. Satu sisi, mereka yang mengaku meninggalkan Demokrat sebagian besar menganggap kinerja partai sangat tidak memuaskan. Di sisi lain, yang menjadi pertimbangan utama responden meninggalkan Demokrat justru meredupnya sumber kekuatan utama partai, yaitu eksistensi aktor Demokrat, baik pendiri maupun jajaran pengurus partai.

Kedigdayaan Demokrat tampaknya mulai runtuh sejak kasus wisma atlet yang menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin diberitakan intens media massa. Kemudian berturut-turut Angelina Sondakh dan Andi Mallarangeng. Meski saat ini sejumlah pihak berpolemik terkait dugaan keterkaitan Anas Urbaningrum di kasus Hambalang, persepsi responden terhadap Demokrat tampaknya lebih terkait ke keberadaan sosok SBY. Ini berarti, seandainya pengusutan kasus menyentuh Anas sekalipun, kemerosotan Demokrat tampaknya tetap sulit dihindari.

Pemilih menimbang

Apalagi, jika ditelisik lebih jauh, hampir semua parpol saat ini memiliki kader yang terbelit kasus korupsi. Pada akhir tahun 2012, Sekretaris Kabinet Dipo Alam merilis data koruptor dari kalangan kader partai periode 2004-2009 dan periode 2009 sampai sekarang. Ada 176 pejabat yang korupsi, 64 berasal dari Golkar, 32 orang dari PDI-P, 20 orang dari Demokrat, dan sisanya dari partai lain.

Melihat kondisi ini, publik pemilih akan menyeleksi dan menimbang partai. Tak terhindarkan kemungkinan meningkatnya jumlah golongan putih. Arus ”politik aliran” dan pemilih ideologis yang pernah marak di era 1980/1990-an mungkin juga akan tersapu arus pragmatisme. Apa boleh buat, pemilih kini dihadapkan pada memilih ”yang buruk dari yang terburuk”. (Toto Suryaningtyas/LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com