Kurang efektif dan efisiennya program pembangunan ini bertentangan dengan upaya penegakan hak asasi manusia karena tidak seluruh penduduk tercakup dalam perencanaan program. Laporan Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) (2012) menyebutkan bahwa lebih dari 51 juta anak dunia tidak terdaftar kelahirannya dan tidak memiliki akta kelahiran. Akibatnya, mereka memiliki akses yang sangat terbatas terhadap layanan dasar, rentan dieksploitasi terutama menjadi pekerja anak, dan cenderung melangsungkan perkawinan dini. Ketidaktahuan usia anak pada kasus kriminal membuat mereka kerap diadili dalam pengadilan orang dewasa.
Atas dasar itu, pencatatan penduduk untuk menjamin hak warga negara bisa sekaligus dalam satu paket, yakni untuk keperluan pembuatan bukti diri dan perencanaan pembangunan melalui registrasi penduduk.
Dengan kegiatan satu paket, bukti diri berupa e-KTP dan atau kartu keluarga dapat digunakan untuk mengakses program berdasarkan hasil registrasi penduduk. Pengalaman menunjukkan, penduduk miskin tanpa bukti diri kesulitan mengakses program kesehatan yang disediakan pemerintah.
Pelaksanaan registrasi penduduk dapat dilakukan saat proses pembuatan e-KTP atau pasca- pembuatan e-KTP. Caranya adalah dengan memverifikasi semua anggota keluarga yang tercantum dalam kartu keluarga dan menambahkan sejumlah keterangan kependudukan, seperti lahir, mati, dan pindah.
Agar data registrasi selalu terbarui, pihak kelurahan perlu secara aktif mencatat setiap perubahan penduduknya. Namun, tanpa kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat, upaya untuk menuntaskan e-KTP dan keinginan memiliki basis data kependudukan yang akurat tidak akan tercapai.
Kerja sama kedua pilar tersebut—pemerintah dan masyarakat—bahkan harus berjalan sepanjang waktu agar basis data kependudukan selalu akurat dan terbarukan.