Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hartati: Tuntutan Jaksa Tak Realistis

Kompas.com - 14/01/2013, 14:16 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Terdakwa kasus penyuapan terkait kepengurusan hak guna usaha perkebunan di Buol, Hartati Murdaya Poo, keberatan dengan tuntutan tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara terhadap Hartati. Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM) itu mengatakan bahwa tuntutan jaksa KPK tidak realistis.

"Tidak realistis, berdasarkan tuntutannya sendiri. Harusnya tuntutan itu didasarkan pada fakta-fakta persidangan," kata Hartati di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (14/1/2013), seusai mendengarkan pembacaan tuntutan jaksa.

Hartati dan tim pengacaranya pun akan mengajukan pleidoi atau nota pembelaan dalam menanggapi tuntutan itu. Kepada majelis hakim, tim pengacara Hartati sempat meminta agar kliennya diizinkan membawa laptop untuk menyusun pleidoi pribadinya dari dalam tahanan. Atas permintaan itu, majelis hakim yang diketuai Gusrizal menyerahkan keputusan tersebut kepada jaksa KPK selaku pihak yang berkoordinasi dengan kepala rumah tahanan.

Adapun Hartati ditahan di Rumah Tahanan Jakarta Timur Cabang KPK di basement Gedung KPK, Kuningan, Jakarta. Dalam tuntutannya, jaksa KPK menilai Hartati terbukti memberi uang senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu. Pemberian uang itu dianggap sebagai "barter" karena Amran telah membantu PT HIP mengurus izin-izin terkait lahan perkebunan di Buol.

Jaksa pun meminta hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan terhadap Hartati. Jaksa juga mempertimbangkan beberapa hal yang dianggap memberatkan hukuman Hartati. Salah satunya, Hartati dianggap telah menggerakkan massa, yakni pegawai-pegawainya, sehingga mengganggu proses persidangan. Untuk diketahui, setiap Hartati sidang, ruang persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta dipenuhi pegawai dari perusahaan milik mantan anggota dewan pembina Partai Demokrat tersebut. Hari ini saja, puluhan pendukung Hartati terlihat menyesaki ruang persidangan. Seusai sidang, para pendukung itu tampak berkerumun mendekati Hartati sehingga bersaing dengan para pewarta yang ingin mewawancarai wanita pengusaha itu. Akibatnya, sempat terjadi dorong-dorongan antara wartawan dan para pendukung yang mengikuti Hartati keluar ruang persidangan.

Bahkan, kaca yang diletakkan di lantai luar ruang sidang pengadilan Tipikor pecah karena terinjak kerumunan wartawan dan pendukung Hartati. Para pendukung itu pun terdengar berteriak agar hakim membebaskan bosnya tersebut. "Bebaskan Hartati, bebaskan Hartati, Hartati tidak bersalah," kata mereka.

Berita terkait kasus ini dapat diikuti dalam topik:
Hartati dan Dugaan Suap Bupati Buol

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    BMKG: Hujan Lebat Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi sampai Sepekan ke Depan

    BMKG: Hujan Lebat Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi sampai Sepekan ke Depan

    Nasional
    Segini Harta Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi yang Dicopot dari Jabatannya

    Segini Harta Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi yang Dicopot dari Jabatannya

    Nasional
    Pemerintah Disebut Setuju Revisi UU MK Dibawa ke Rapat Paripurna untuk Disahkan

    Pemerintah Disebut Setuju Revisi UU MK Dibawa ke Rapat Paripurna untuk Disahkan

    Nasional
    Hari Ketiga di Sultra, Jokowi Resmikan Bendungan Ameroro dan Bagikan Bansos Beras

    Hari Ketiga di Sultra, Jokowi Resmikan Bendungan Ameroro dan Bagikan Bansos Beras

    Nasional
    Ketua Dewas KPK Sebut Laporan Ghufron ke Albertina Mengada-ada

    Ketua Dewas KPK Sebut Laporan Ghufron ke Albertina Mengada-ada

    Nasional
    Revisi UU MK yang Kontroversial, Dibahas Diam-diam padahal Dinilai Hanya Rugikan Hakim

    Revisi UU MK yang Kontroversial, Dibahas Diam-diam padahal Dinilai Hanya Rugikan Hakim

    Nasional
    MK Akan Tentukan Lagi Status Anwar Usman dalam Penanganan Sengketa Pileg

    MK Akan Tentukan Lagi Status Anwar Usman dalam Penanganan Sengketa Pileg

    Nasional
    Sidang Putusan Praperadilan Panji Gumilang Digelar Hari Ini

    Sidang Putusan Praperadilan Panji Gumilang Digelar Hari Ini

    Nasional
    Mati Suri Calon Nonpartai di Pilkada: Jadwal Tak Bersahabat, Syaratnya Rumit Pula

    Mati Suri Calon Nonpartai di Pilkada: Jadwal Tak Bersahabat, Syaratnya Rumit Pula

    Nasional
    Anak SYL Minta Uang Rp 111 Juta ke Pejabat Kementan untuk Bayar Aksesori Mobil

    Anak SYL Minta Uang Rp 111 Juta ke Pejabat Kementan untuk Bayar Aksesori Mobil

    Nasional
    PKB Mulai Uji Kelayakan dan Kepatutan Bakal Calon Kepala Daerah

    PKB Mulai Uji Kelayakan dan Kepatutan Bakal Calon Kepala Daerah

    Nasional
    SYL Mengaku Tak Pernah Dengar Kementan Bayar untuk Dapat Opini WTP BPK

    SYL Mengaku Tak Pernah Dengar Kementan Bayar untuk Dapat Opini WTP BPK

    Nasional
    Draf RUU Penyiaran: Lembaga Penyiaran Berlangganan Punya 6 Kewajiban

    Draf RUU Penyiaran: Lembaga Penyiaran Berlangganan Punya 6 Kewajiban

    Nasional
    Draf RUU Penyiaran Wajibkan Penyelenggara Siaran Asing Buat Perseroan

    Draf RUU Penyiaran Wajibkan Penyelenggara Siaran Asing Buat Perseroan

    Nasional
    Draf RUU Penyiaran Atur Penggabungan RRI dan TVRI

    Draf RUU Penyiaran Atur Penggabungan RRI dan TVRI

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com