Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasca-bubarnya BP Migas

Kompas.com - 17/11/2012, 02:09 WIB

Model terakhir adalah negara berkedudukan sebagai pemberi izin (konsesi) kepada kontraktor dan pelaku usaha. Ini yang dikenal dengan rezim izin sebagaimana dianut dalam UU Mineral dan Batubara. Dalam rezim izin, maka kedudukan negara sebagai pemberi izin lebih tinggi daripada pelaku usaha. Negara dalam posisi vertikal di atas, tidak horizontal. Dalam sistem kontrak, kesetaraan di antara para pihak, termasuk negara, merupakan prasyarat mengingat kontrak membutuhkan kesepakatan.

Negara sebagai pihak

Bila dibandingkan dengan masa lalu, keberadaan UPKHM Migas yang mewakili pemerintah sama kedudukannya seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) sebelum menjadi perusahaan umum. Bulog ketika ini didirikan dengan keputusan presiden dan Bulog melakukan transaksi komersial mewakili negara. Dalam posisi pasca-putusan MK, maka UPKHM Migas bukanlah pihak yang berkontrak, melainkan negara. UPKHM bukanlah badan hukum yang terpisah dari negara.

Mengingat saat ini negara langsung berkontrak dengan kontraktor, maka sebenarnya negara tidak terlindungi bila terjadi sengketa berdasarkan kontrak kerja sama. Di forum penyelesaian sengketa, apakah itu pengadilan ataupun arbitrase, negara menjadi pihak tergugat ataupun penggugat.

Permasalahan yang muncul adalah tanggung jawab negara dalam posisinya sekarang adalah tidak terbatas. Aset negara akan terekspos untuk membayar ganti rugi. Ini berbeda bila negara hanya pemegang saham di suatu perseroan terbatas atau negara membentuk badan hukum milik negara (BHMN). Tanggung jawab hanya terbatas pada saham yang dimiliki oleh negara atau aset yang dimiliki oleh perseroan terbatas (PT) atau BHMN.

Masalah ini perlu mendapat perhatian karena investasi di bidang minyak dan gas membutuhkan dana besar. Bila ada wanprestasi dari negara, kompensasi yang diminta akan sebesar dana yang dikeluarkan, ditambah dengan kerugian potensial atau imaterial.

Ingat, dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas Company, investasi yang berjumlah 50 juta dollar AS dimintakan kompensasi lebih dari 250 juta dollar AS. Churchill, sebuah perusahaan Inggris, saat ini tengah menggugat pemerintah hingga Rp 18 triliun.

Sekarang ini ada 350 lebih kontrak kerja sama (KKS) yang tentu memiliki potensi untuk menjadi sengketa. Setiap sengketa harus diperhatikan sungguh-sungguh karena bila pemerintah kalah, berarti kekalahan negara. Di samping itu, pelaku usaha dapat meminta ganti rugi yang sangat besar dan bisa menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kemakmuran

Bila itu yang terjadi, maka dipertanyakan, di mana ”kemakmuran untuk sebesar-besarnya rakyat’? Agar terhindar dari ”pemerasan” melalui saluran hukum, bahkan pemerintah dijadikan ”tambang hukum”, maka pemerintah perlu berpikir keras untuk membuat perlindungan pasca-putusan MK.

Salah satu upaya tersebut adalah mengubah rezim kontrak yang berlaku di sektor migas menjadi rezim izin. Bila pada saatnya disetujui rezim izin itu yang diberlakukan, UU Migas harus diamandemen secara keseluruhan.

HIKMAHANTO JUWANA Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com