Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teten: Saya Takkan Curi Uang Rakyat ...

Kompas.com - 15/11/2012, 07:57 WIB

Seandainya suatu saat nanti Anda adalah salah satu calon penerima Nobel, apa hal besar yang Anda harap telah Anda lakukan pada saat itu sehingga Anda pantas menerima Nobel?
(Jeffri, Jakarta)

Saya bukan pemburu hadiah atau penghargaan. Waktu saya menerima Ramon Magsaysay Award lima tahun lalu, saya merasa tidak ada yang istimewa dengan apa yang saya lakukan karena melawan korupsi adalah tugas kita sebagai warga negara. Agama pun mengajarkan kita seperti itu

Mengapa rakyat negeri kita terjebak dalam materialisme? Antara lain, orang yang sukses adalah orang yang kaya secara materi, memiliki apa saja. Orang-orang kaya hargai masyarakat kita, bukan orang yang jujur dan bersih. Orang pun mau melakukan korupsi dengan cara apa pun agar menjadi kaya dan dihargai orang?
(Juni Aristiaadi, Jalan Pandanaran, Semarang)

Tanpa kita sadari, setiap hari kita dicekoki budaya konsumerisme melalui berbagai media. Para elite bangsa ini juga doyan mempertontonkan gaya hidup mewah mereka di tengah kesulitan masyarakatnya.

Kesuksesan seseorang sekarang diukur dari keberhasilan ekonominya. Namun, dalam hal lain, mungkin semua orang di sini tidak merasa aman kalau tidak memiliki kepemilikan pribadi. Transportasi umum buruk, pendidikan dan kesehatan mahal, dan seterusnya. Negara tidak hadir dalam memberikan jaminan sosial bagi rakyatnya.

Saya sangat mengapresiasi perjuangan Mas Teten melawan korupsi di negeri ini. Sejauh ini apakah Mas Teten merasa sudah berhasil atau belum dengan apa yang diperjuangkan? Apalagi, dengan semakin maraknya kasus-kasus korupsi belakangan ini yang banyak melibatkan pejabat-pejabat publik dari eksekutif, yudikatif, ataupun legistatif.
(Timotius S Ertanto, Bandung)

Melawan korupsi adalah pekerjaan tanpa akhir dan bukan perkara mudah untuk mengukur keberhasilannya. Kasus koruspi akan terus bermunculan di tengah kebebasan media. Yang saya senang gerakan masyarakat antikorupsi terus tumbuh di mana-mana. Media pun terus gencar membongkar kasus-kasus korupsi. Hanya, sayangnya, kita tidak punya mitra politik dan aparat hukumnya tidak mendukung. Bisa dibayangkan, tanpa perlindungan masyarakat antikorupsi, barangkali KPK sudah lama dihancurkan oleh jaringan prokorupsi.

Sulit untuk menepis kesan pemberantasan korupsi di negeri ini setengah-setengah dan pilih bulu, lebih banyak wacana dan pidato daripada tindakan penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi. Masihkah rakyat bisa percaya bahwa hukum memang ditegakkan untuk memberantas korupsi?
(S Trisno, Ciledug, Tangerang)

Saya setuju kebijakan pemberantasan korupsi pemerintah belum efektif. Tidak ada kepemimpinan yang kuat untuk menjalankannya. Bahkan, kebijakan antikorupsi Presiden SBY disabotase oleh para petinggi partainya sendiri yang sekarang sedang diinvestigasi KPK. Tidak ada satu pemerintahan pun pascareformasi yang berani membersihkan kepolisian dan kejaksaan sehingga hal itu sampai sekarang menjadi faktor penghambat pemberantasan korupsi.

Kita masih beruntung memiliki KPK meskipun belum memuaskan karena sumber dayanya sedikit. Jadi, hanya sebagian kecil dari puluhan ribu kasus yang dilaporkan masyarakat sehingga ada kesan tebang pilih.

Dengan nilai tinggi yang hampir mendekati sempurna, Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup se-Asia. Bagaimana tanggapan Pak Teten? Bagaimana juga sebaiknya cara kami berpartisipasi memberantas korupsi dengan efektif....
(Ayu Sri Darmastuti, xxxx@gmail.com)

Perbaikan Indeks Persepsi Korupsi memang sangat lambat. Dalam 13 tahun skornya hanya naik satu point dari 2.00 (2000) dan saat ini 3.0. Kita masih jauh di bawah Malaysia (4.5), apalagi Singapura (9.8). Namun, waktu pencapaian itu hampir sama dengan yang dialami China dan Thailand.

Pemberantasan harus fokus pada babon korupsi, seperti sektor hukum, politik, dan bisnis, supaya efek. Saat ini, gerakan antikorupsi di masyarakat lebih banyak dalam bentuk watch dog, tapi belum menjadi gerakan semua orang di setiap sektor sehingga belum begitu berpengaruh.

Di Arab Saudi, orang yang korupsi dihukum potong tangan. Sementara di China, koruptor dihukum mati. Ironisnya di negeri kita, meski semua sepakat bahwa korupsi termasuk kejahatan luar biasa, hukumannya relatif ringan, mayoritas kurang dari 5 tahun penjara. Nah, dalam pandangan Anda, idealnya hukuman seperti apa yang bisa membuat para koruptor jera dan calon-calon koruptor mikir berkali-kali untuk melakukan korupsi?
(Vita Sophia Dini, Jakarta)

Di dunia, hukuman mati sudah banyak ditinggalkan sekarang ini. Di Indonesia sebenarnya memungkinkan diterapkan hukuman mati untuk kasus korupsi tertentu, tetapi sangat tidak masuk akal diterapkan di tengah aparat hukum yang bobrok.

Saya percaya penerapan undang-undang pencucian uang, asas pembuktian terbalik, dan pemiskinan terhadap koruptor bisa efektif untuk membuat efek jera. Korupsi itu kejahatan kalkulasi. Selama benefit-nya besar dan risikonya kecil, korupsi akan tumbuh subur.

Pak Teten Masduki, bagaimana menurut Bapak dengan mahasiswa yang gencar menuntut di hukum beratnya koruptor. Padahal, kalau nantinya mereka sudah menjadi elite politik juga akan melakukan hal yang sama? Bagaimana menyadarkan mahasiswa yang kadang suka bertindak anarkistis?
(Maidin Situmorang, SMA Bintang Laut Bagan Siapiapi, Riau)

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com