Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersihkan Pemerintahan

Kompas.com - 05/11/2012, 06:10 WIB

Jakarta, Kompas - Hingga saat ini para pejabat yang bekas terpidana kasus korupsi masih bercokol di sejumlah pemerintah daerah. Menteri Dalam Negeri sudah mengirimkan edaran yang melarang bekas terpidana korupsi

dipromosikan. Jabatan publik memang tidak sepantasnya diemban oleh koruptor. Karena itu, pemerintahan harus dibersihkan.

Sejumlah pejabat yang bekas terpidana kasus korupsi masih menduduki posisi strategis di pemerintah daerah. Di wilayah Kepulauan Riau termasuk banyak pejabat yang bekas terpidana korupsi itu. Menurut pengajar kebijakan publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tidak layak jabatan publik dipegang bekas terpidana korupsi. Pemerintahan pun harus dibersihkan.

”Pejabat yang mengangkat bekas terpidana korupsi pasti punya kepentingan tertentu. Mereka berdalih secara hukum formal bekas terpidana korupsi sudah menjalani pidana. Mereka melupakan ini adalah jabatan publik sehingga ada tanggung jawab sosial,” kata Andrinof, Sabtu (3/11). Tidak sepantasnya, kata Andrinof, jabatan publik diemban koruptor.

Pegawai negeri sipil yang pernah menjalani hukuman pidana korupsi seharusnya tidak diperlakukan sama dengan pegawai lain yang tak pernah korupsi. Kepala daerah seharusnya memberikan efek jera dengan tidak memberikan jabatan strategis.

”Ini masalah etika. Orang yang pernah dipenjara, apalagi karena kasus korupsi, mestinya tidak mendapatkan promosi jabatan, apalagi sampai diangkat menjadi pejabat,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR A Hakam Naja.

Namun, sejumlah kabupaten kini sudah mempertimbangkan pemberhentian mereka sesuai perintah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Sekretaris Daerah Natuna Syamsurizon, akhir pekan lalu, mengatakan, Senagip dan Yusrizal masih menjabat kepala dinas dan kepala badan. Namun, Pemerintah Kabupaten Natuna segera membahas kelanjutan jabatan mereka. ”Kami sudah menerima edaran Mendagri,” ujarnya di Batam.

Pemkab Natuna mengangkat Senagip sebagai kepala badan keselamatan bangsa dan Yusrizal sebagai kepala dinas pariwisata. Keduanya pernah divonis 30 bulan penjara karena korupsi dana bagi hasil migas 2007. ”Kami berharap mereka mengikuti langkah Pak Azirwan yang mengundurkan diri,” ujar Syamsurizon. Azirwan, bekas terpidana korupsi alih fungsi hutan lindung Bintan, yang diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri akhirnya mengundurkan diri akhir Oktober 2012 setelah didesak publik.

Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan edaran nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Edaran itu menegaskan, bekas terpidana dilarang jadi pejabat. Mereka yang sudah diangkat harus diberhentikan.

”Edaran sudah dikirimkan ke seluruh daerah untuk diimplementasikan,” kata Gamawan. Surat edaran bertanggal 29 Oktober ini disampaikan kepada semua kepala daerah di Indonesia.

Sementara itu, Sekretaris Kabupaten Lingga Kamaruddin tetap menolak memberikan keterangan. Di Lingga, ada lima bekas terpidana menjadi kepala dinas, kepala lembaga, dan kepala badan. Mereka adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN, Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Togi Simanjuntak.

Iskandar dan Togi dipidana dalam kasus korupsi pembangunan Dermaga Rejai. Dedy dipenjara 16 bulan karena merugikan negara Rp 1,3 miliar dalam kasus pencetakan sawah di Singkep Barat. Jabar Ali dipenjara 20 bulan karena terlibat korupsi proyek gedung di dinas pendidikan, pemuda, dan olahraga. Pemkab Lingga juga mengangkat Baduar Hery sebagai kepala bidang tata pemerintahan, padahal Baduar juga pernah dipenjara atas kasus narkotika.

Di Karimun, Yan Indra menjabat kepala dinas pemuda dan olahraga. Indra pernah divonis 1,5 tahun penjara karena terlibat korupsi pembebasan lahan untuk PT Saipem Indonesia tahun 2007. Kasus itu merugikan negara Rp 1,2 miliar. Di Tanjung Pinang, Raja Faisal Yusuf yang pernah divonis 2,5 tahun karena merugikan negara Rp 1,2 miliar masih jadi kepala badan pelayanan perizinan terpadu.

Status tersangka

Beberapa kepala daerah di Jawa Tengah justru menjadi tersangka dan terdakwa dalam dugaan kasus korupsi. Selain Wali Kota Semarang Soemarmo HS yang kini terdakwa kasus dugaan suap kepada DPRD Kota Semarang, saat ini Bupati Rembang M Salim juga menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Rembang.

Menurut data Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Bupati Rembang M Salim saat ini adalah tersangka dalam kasus dugaan korupsi Penyimpangan Penyertaan Modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya dari APBD 2006 dan 2007 senilai Rp 5,2 miliar. ”Kasus Bupati Rembang tengah diproses hukum oleh penyidik Polda Jateng,” ujar Koordinator Divisi Monitoring Kinerja Aparat Penegak Hukum KP2KKN Jateng Eko Haryanto.

Untuk kasus Soemarmo, Pengadilan Tipikor Jakarta pada Agustus lalu menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan penjara dan denda Rp 50 juta karena Soemarmo terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan memberikan uang kepada anggota DPRD Kota Semarang terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD Kota Semarang 2012.

Selain dua pejabat yang terjerat kasus korupsi, dari informasi yang diperoleh Kompas, saat ini Wakil Bupati Jepara Subroto juga terjerat masalah hukum, terkait jual beli tanah di Kota Semarang. Subroto saat ini diproses hukum oleh Kepolisian Resor Kota Besar Semarang dan menjadi tersangka setelah dilaporkan Ketua Yayasan Pendidikan Kesatrian Semarang HA Soetarto Hadiwinoto.

Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang melalui Kepala Satuan Reskrim Polrestabes Semarang Ajun Komisaris Besar Agustinus Berlianto Pangaribuan mengatakan, Subroto telah diperiksa Polrestabes Semarang pada Rabu lalu sebagai tersangka. ”Kelanjutannya kami gelar dulu. Kalau ada yang kurang, kami akan panggil lagi,” ujarnya.

Di Surabaya, Sekretaris Kota Surabaya Sukamto Hadi dan Asisten II Pemerintah Kota Surabaya Muhlas Udin hingga kini masih aktif. Kedua pejabat itu bersama Wakil Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf dan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Pemkot Surabaya Purwito diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya 21 Oktober 2009.

Mereka diajukan ke PN Surabaya atas laporan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Wahyudin Husein, dan anggota Fraksi Demokrat, Indra Kartamenggala, yang menyebutkan Musyafak telah menerima gratifikasi berupa jasa pungut sebesar Rp 720 juta.

Atas putusan PN Surabaya, jaksa mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa pada 26 Januari 2011. Selanjutnya, pada 5 Maret 2012, salinan putusan MA nomor 1461K/Pid.Sus/2010 untuk Musyafak diterima Kejaksaan Negeri Surabaya, sedangkan terhadap tiga terdakwa lain (Sukamto Hadi, Muhlas Udin, dan Purwito, sudah pensiun sejak 2012) hingga kini belum ada putusan dari MA.

Musyafak, yang menjadi penghuni LP Kelas 1 Porong sejak 29 Mei 2012, hingga kini masih menjabat Wakil Ketua DPRD Surabaya. Menurut anggota FKB DPRD Surabaya, Masduki Toha, perlakuan terhadap Musyafak diskriminatif karena tiga tersangka lain tidak diutak-atik.

(RAZ/NTA/IAM/SON/ETA/UTI/ONG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com