SURABAYA, KOMPAS.com — Etika di kalangan pegawai negeri sipil (PNS) harus ditegakkan. Ketika PNS telah divonis bersalah dan perkaranya berkekuatan hukum tetap dalam tindak pidana korupsi, PNS tersebut seharusnya dipecat.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan, di dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai etika, memang tidak diatur secara rigit mengenai sanksi untuk bekas narapidana. Terlebih lagi, kata dia, di dalam birokrasi, menolak adanya campur tangan dari eksternal dalam pemberian sanksi.
"Akan tetapi, dalam konteks penegakan etika, sebagai PNS, semestinya diberikan sanksi yang jelas dan tegas. Seharusnya, pemberhentian," kata Arif di sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDIP di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (13/10/2012 ).
Hal itu dikatakan Arif ketika dimintai tanggapan pengangkatan bekas terpidana kasus korupsi, Azirwan, sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Azirwan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 100 juta atau subsider tiga bulan penjara karena terbukti menyuap anggota Komisi IV DPR Al Amin Nasution terkait pembahasan alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan pada 2008. Azirwan dan Al Amin ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Ritz- Carlton, Jakarta, pada 8 April 2008.
Arif berpendapat, jika tak mau memberhentikan Azirwan, seharusnya hukuman kepada yang bersangkutan minimal penundaan kenaikan pangkat sekian tahun. Sanksi tegas harus diberikan lantaran Azirwan tidak terkait dengan hubungan politik.
"Saya kira jelas (pengangkatan) itu menunjukkan ada kepentingan yang nyata di dalam Pemda setempat," kata Arif.
Arif menambahkan, agar kasus serupa tidak terulang kembali, Arif ragu perubahan PP bisa menjadi solusi tercepat. Menurut dia, yang harus didorong oleh semua pihak terkait ialah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Namun, lanjutnya, pembahasan berjalan alot. "Mereka menolak dengan alasan tidak perlu ada orang di luar pegawai yang bisa terlibat dalam mengatur tentang kepegawaiannya, dalam hal ini kebijakan umumnya. Birokrasi kita tidak mau terbuka kepada publik," pungkas Arif.
Ikuti berita selengkapnya di topik pilihan "Bekas Koruptor Jadi Pejabat"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.