Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lupakah Rakyat pada Pemberontakan G30-S PKI?

Kompas.com - 30/09/2012, 01:20 WIB

Oleh Arnaz Ferial Firman

Beberapa hari terakhir, perhatian masyarakat Jakarta dan daerah lain di Tanah Air terpusat pada dua kasus, yakni tawuran antarpelajar di DKI Jakarta yang memakan korban dua pelajar meninggal dan peradilan beberapa tersangka kasus tindak pidana korupsi.

Dua pelajar harus tewas di Jakarta setelah tawuran Senin(24/9) dan Rabu (26/9) lalu di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan dan di Manggarai di Jakarta Selatan.

Kepolisian Metro Jakarta sampai- sampai harus mengirim beberapa petugasnya untuk membekuk seorang pelajar berinisial FR yang diduga pembunuh seorang siswa SMA Negeri 6 Jakarta yang berlokasi dekat terminal Blok M itu.

Sementara itu, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Senior Miranda Swaray Goeltom, Kamis itu juga, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta karena terbukti menyuap sejumlah anggota DPR masa bakti 2004-2009 agar memilihnya sebagai orang" nomor dua" pada bank sentral Indonesia.

Sementara itu, perdebatan atau sedikitnya "debat kusir" mengenai dana talangan atau bail out tidak kurang dari Rp7 triliun bagi Bank Century terutama di kawasan Senayan tempat berkantornya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR belum juga usai. Padahal Tim Pengawas DPR sudah "mengorek-ngorek" keterangan dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar.

Padahal tanggal 30 September dan 1 Oktober juga seharusnya menjadi fokus perhatian seluruh masyarakat Tanah Air karena dalam tanggal-tanggal itulah pada 1965 telah terjadi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI terhadap pemerintahan sah di Indonesia.

Akibat pemberontakan pimpinan DN Aidit ini, Angkatan Darat harus kehilangan beberapa perwira tinggi dan perwira menengahnya serta seorang anak perempuan.

Jenderal-jenderal TNI yang harus mengorbankan nyawa dan tubuhnya itu adalah Letnan Djenderal TNI Ahmad Yani, Mayor Jenderal TNI Soeprapto, Mayor Jenderal S Parman, Mayor Jenderal TNI Harjono MT, Brigadir Jenderal TNI DI Pandjaitan, serta Brigadir Jenderal TNI Soetojosiswomihardjo, dan juga Letnan Tendean.

Sementara itu, Jenderal TNI Abdul Haris Nasution harua kehilangan putri ciliknya, Ade Irma, akibat upaya penculikan yang didalangi PKI dengan komandan lapangan Letnan Kolonel Untung.

Jenazah para jenderal itu berhasil ditemukan di daerah Lubang Buaya dan sebagai penghormatan bangsa dan negara, para jenderal itu mendapat gelar Pahlawan Revolusi.

Sebaliknya PKI yang telah berulangkali mencoba memberontak terhadap pemerintah yang sah dibubarkan sehingga tidak boleh bercokol lagi di Tanah Air sampai kapan pun.

Karena sejumlah tokoh Angkatan Darat gugur akibat upaya pemberontakan itu, maka masyarakat Indonesia dan juga dunia internasional mulai mengenal nama Mayor Jenderal TNI Soeharto yang akhirnya memimpin Angkatan Darat hingga menjadi Presiden Republik Indonesia.

Sementara Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal AH Nasution pada upacara pelepasan ketujuh Pahlawan Revolusi yang bertepatan dengan Hari ABRI 5 Oktober 1965 menegaskan para prajurit merasa terhina oleh pemberontakan oleh partai komunis tersebut.

"Hari ini adalah Hari Angkatan Bersenjata, tapi kami dihinakan oleh penganiajaan," tegas Jenderal Nasution

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com