Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi Marak, Tinjau Ulang Bayar Pajak

Kompas.com - 16/09/2012, 03:27 WIB

CIREBON, KOMPAS - Nahdlatul Ulama sedang meninjau ulang ketentuan tentang kewajiban membayar pajak bagi warga negara Indonesia. Hal ini dilakukan karena praktik korupsi demikian marak di Indonesia, termasuk menggerogoti uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Namun, ini bukan berarti NU secara institusi mendorong warga agar tidak membayar pajak, tetapi merupakan upaya untuk mengingatkan pemerintah.

Hal itu dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dan Ketua PBNU Slamet Effendi Yusuf dalam pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Kempek, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (15/9).

Menurut Said Aqil Siroj, warga NU wajib mengikuti peraturan pemerintah untuk membayar pajak. Hal itu sesuai dengan ajaran dalam Al Quran yang mewajibkan umat Islam menaati peraturan pemerintah. Namun, sejatinya konsep pajak tidak dikenal dalam Islam.

”Dalam Islam yang ada ialah kewajiban membayar zakat. Warga NU taat membayar pajak karena itu diatur oleh Pemerintah Indonesia. Pajak itu pun seharusnya bertujuan mementingkan kesejahteraan rakyat. Namun, setelah melihat akhir-akhir ini pajak justru dikorupsi, NU kemudian menilai kewajiban membayar pajak perlu ditinjau ulang,” ujar Said Aqil Siroj.

Slamet Effendi Yusuf menambahkan, wacana yang berkembang dalam Munas NU soal pajak itu bukan berarti NU secara institusi mendorong warga agar tidak membayar pajak. Akan tetapi, itu lebih merupakan upaya NU mengingatkan pemerintah agar pajak yang berasal dari uang rakyat dikelola dengan benar mulai dari hulu sampai hilir.

Wacana soal pajak barangkali akan memunculkan kontroversi di masyarakat. Namun, bagi NU, ini bukan hal baru mengingat beberapa perjalanan munas yang pernah menelurkan rekomendasi dan keputusan kontroversial pada masanya.

Said Aqil Siroj mencontohkan hasil Munas NU tahun 1987 di Desa Bago, desa terpencil di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Saat itu, NU menelurkan kebijakan kontroversial yang kala itu benar-benar baru, yakni membolehkan perempuan menjadi presiden.

Satu kesatuan

Munas NU yang mengambil tema besar ”Kembali ke Khitah Indonesia 1945” kali ini juga akan membahas peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga didasari keprihatinan NU akan kondisi bangsa yang sekarang ini karut-marut.

 

Rois Am PBNU KH Ahmad Sahal Mahfudh dalam pembukaan Munas NU mengatakan, keislaman dan keindonesiaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan satu sama lain. ”Jika Indonesia dalam bahaya, NU juga ikut terancam. Sebaliknya, apabila Indonesia aman dan tenteram, NU juga merasa aman dan tenteram,” ujarnya.

Dalam perjalanan bangsa ini, kata Sahal Mahfudh, NU bersama dengan elemen bangsa yang lain turut aktif memperjuangkan kemerdekaan, bahkan ikut merumuskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Dalam setiap peralihan periode pemerintahan, yakni dari Orde Lama hingga Orde Baru, dan Orde Reformasi sekarang, NU juga mengambil langkah-langkah yang menentukan perjuangan bangsa.

”Dalam suasana reformasi, kehidupan bangsa semakin demokratis. Berbagai tindakan represi semakin berkurang. Kebebasan berorganisasi, menyalurkan aspirasi politik, serta mengembangkan pendidikan dan dakwah semakin dirasakan oleh rakyat,” lanjutnya.

”Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan sebagai akibat buruk yang tidak kita kehendaki dari reformasi,” kata Sahal Mahfudh.

Ia juga menyoroti amandemen UUD 1945 yang dilakukan tergesa-gesa dan kurang cermat sehingga lahir aturan perundang- undangan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara.

”Hal itu menjadi keprihatinan kami sehingga harus segera dicarikan cara pemecahannya, baik dalam bidang politik ketatanegaraan maupun dalam bidang ekonomi dan kebudayaan,” ungkap Sahal Mahfudh.

NU konsisten

Dalam sidang pleno kedua, Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Letnan Jenderal Langgeng Sulistyono, yang mewakili Menko Polhukam Djoko Suyanto, mengatakan, selama ini NU konsisten dengan empat pilar bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

”NU menyokong Indonesia sebagai bukan negara agama, tetapi memfasilitasi kegiatan keagamaan,” katanya.

Sulistyono, yang pada kesempatan itu membacakan pidato sambutan Menko Polhukam, mengatakan, demokrasi adalah cara dan mekanisme mempertahankan kedaulatan rakyat. Sebagai sebuah nilai dan prinsip yang mengedepankan kebebasan aspirasi, demokrasi di Indonesia kian mengakar dan meluas.

”Akan tetapi, kelembagaan politik di Indonesia belum menguat. Demokrasi hanya dipahami sebagai cara, sementara komitmen kebangsaan menurun dan kepentingan politik mengeras sehingga memicu konflik di daerah,” kata Sulistyono.

Pemerintah, lanjutnya, berupaya memantapkan stabilitas politik, hukum, dan keamanan. ”Pemerintah membutuhkan peran NU,” ujar Sulistyono. (REK/IAM/LOK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com