JAKARTA, KOMPAS.com - Kelompok-kelompok masyarakat sipil diharapkan dapat memunculkan tokoh-tokoh yang potensial menjadi pemimpin nasional. Itu dapat menyegarkan bursa calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014.
"Saya kira stok pemimpin nasional kita banyak, hanya saja kerap tidak terfasilitasi oleh kekuatan-kekuatan partai," kata Direktur The Political Literacy Institute, Gun Gun Heriyanto, di Jakarta, Selasa (11/9/2012).
Para tokoh alternatif itu bisa dari kalangan akademisi, teknokrat-birokrat, atau politisi bagus tapi masih belum jadi tokoh utama partai. Bisa juga berasal dari tokoh-tokoh organisasi masyarakat yang punya kapasitas leadership dan kerap diposisikan sebagai kandidat secara sporadis pada masa lalu.
Hingga kini, nama-nama yang beredar sebagai calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014 masih didominasi para tokoh lama, bahkan sebagian telah berkompetisi pada Pemilu 2009 dan 2004. Masih sedikit sekali tokoh-tokoh baru yang dapat memenuhi harapan penyegaran.
Gun Gun Heriyanto menilai, proses konsolidasi demokrasi di Indonesia belum sukses menciptakan pola kaderisasi yang terlembagakan di partai politik. Politik figur masih sangat dominan dan mengalahkan sistem sehingga tradisi kepartaian kita bercorak feodal-oligarkis-transaksional. Dampaknya, nama-nama yang beredar lebih banyak daur ulang nama-nama lama.
Di tengah situasi itu, idealnya partai melakukan demokratisasi internal seperti dengan menjaring calon lewat konvensi dan survei. Kemungkinan lain, dengan melacak sejumlah nama yang punya kemampuan, profesionalitas, dan kredibilitas dari tokoh partai atau dari luar. Bisa juga dimunculkan dari para pemimpin daerah yang dianggap berhasil dan mampu mengelola pemerintahan di tingkat nasional. Partai-partai besar umumnya sudah mengusung calon sendiri.
Untuk itu, kekuatan civil society perlu memunculkan nama-nama pemimpin alternatif, terutama melalui media. Partai-partai juga bisa menengah atau gabungan partai bisa melakukan koalisi terpola untuk memunculkan tokoh alternatif yang punya popularitas dan elektabilitas tinggi.
"Dengan cara itu, partai-partai menengah bisa menjadi pesaing yang kuat bagi partai besar. Posisi partai-partai tengah akhirnya tidak sekedar ornamen dan pelengkap penderita dari pencapresan partai-partai besar," kata Gun Gun Heriyanto, yang juga pengajar komunikasi politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.