Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/09/2012, 06:05 WIB

Saroyo Sumarto mengatakan, ancaman terbesar terhadap keberlanjutan hidup satwa liar di Sulawesi Utara adalah kebiasaan memakan segalanya (bushmeat). ”Masyarakat di sini terbiasa memakang apa saja, mulai dari yaki, kucing, ular, hingga anjing,” katanya.

Boang Lakoy (57), warga Kakas, Minahasa, mengatakan, kebiasaan memakan daging satwa liar telah berlangsung lama. Sejak kecil, dia telah dibiasakan sang ayah, Paul Lakoy, seorang petani, memakan daging babi hutan, yaki, babirusa, anoa, kucing hutan, dan kuskus.

Boang semakin ketagihan memakan beragam satwa hutan ketika menginjak remaja. Apalagi, satwa-satwa itu sering kali dihidangkan dalam berbagai pesta, seperti pembaptisan, perkawinan, hingga ulang tahun. ”Biasanya satwa yang aneh-aneh menjadi rebutan di pesta-pesta. Kalau tidak ada daging monyet atau anjing justru dianggap tidak mewah,” ujar Boang yang mengaku pernah memakan daging dari 21 jenis satwa itu. ”Yang belum saya makan mungkin tarsius karena terlalu kecil, enggak ada dagingnya.”

Kebiasaan memakan berbagai jenis satwa juga diajarkan Boang kepada empat anaknya. ”Cucu saya yang belum genap lima tahun juga sudah menyukai hidangan anjing rica-rica,” katanya.

Fendy Parengkuan, sejarawan dan penulis kuliner dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, mengatakan, memakan daging segala jenis satwa bukanlah sesuatu yang aneh di Sulawesi Utara. Satwa-satwa itu dijual bebas di sejumlah pasar tradisional di Kota Tomohon dan Kota Manado. Di Manado bahkan ada sebuah rumah makan yang menyajikan menu monyet dan kuskus pada hari tertentu setiap minggunya.

”Bagi orang Minahasa, kunci masakan adalah pedas. Asal pedas, apa saja akan dimakan,” kata Fendy. Karena kebiasaan memakan segala jenis makanan ini, menurut Fendy, muncul gurauan populer di kalangan masyarakat Minahasa. Ia menambahkan, ”Semua (hewan) yang berkaki dimakan, kecuali kaki meja. Semua yang terbang dimakan, kecuali pesawat terbang. Semua yang berenang juga dimakan, kecuali kapal.”

Menurut Fendy, kebiasaan memakan segala jenis satwa ini dipengaruhi oleh tradisi kuliner China yang masuk Minahasa pada abad ke-17. Kala itu, bangsa China memperkenalkan jenis makanan yang lebih variatif kepada orang-orang Minahasa. Anjing, misalnya, adalah hewan peliharaan yang awalnya berfungsi menjadi penjaga rumah. Namun, karena cepat sekali berkembang biak dan akhirnya menjadi pengganggu, bangsa China lalu mengajarkan orang Minahasa cara memasak anjing.

 

Kebiasaan memakan satwa hutan semakin marak sejak 1958. Saat itu muncul gerakan Permesta di Sulawesi Utara. ”Banyak warga lari ke hutan. Mereka memakan apa pun hasil buruan demi bertahan hidup,” katanya.

Sejak saat itu, memakan satwa hutan mulai menjadi kebiasaan sehari-hari. Orang tua yang umumnya masih aktif berburu mengajarkan anak-anak mereka memakan hasil buruan. ”Anak-anak mesti memakan apa yang dihidangkan orang tua di meja makan,” kata Fendy.

Selain perburuan untuk konsumsi, menurut Willie, ancaman kepunahan satwa di Sulawesi juga datang dari penyelundupan satwa hidup ke luar negeri. ”Penyelundupan dilakukan melalui Pelabuhan Bitung di Kota Bitung ke Filipina,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com