Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/09/2012, 06:05 WIB

PASAR-pasar tradisional di Sulawesi Utara menjadi tempat yang lebih gampang untuk menemukan babirusa dan anoa dibandingkan di habitatnya. Pagi itu, kami disuguhi pemandangan kepala anoa yang terpenggal dan onggokan daging babirusa di Pasar Imandi, Kecamatan Dumoga Barat, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Padahal, di habitatnya di Sulawesi Utara, kedua jenis binatang endemis ini nyaris punah.

Kamis (2/8), pukul 09.00, Pasar Imandi sudah dipadati warga. Seperti pasar-pasar tradisional lainnya, berbagai jenis barang diperdagangkan, mulai dari pakaian, mainan anak, sabun mandi, rempah-rempah, sayur-mayur, ikan, sampai daging.

Di pasar seluas 50 meter x 60 meter persegi itu, lapak daging berada di sudut belakang. ”Ke marilah. Di situ yang dijual daging biasa, ini ada binatang yang dilindungi,” kata seorang pedagang, sambil menunjuk seonggok daging dengan kepala terpenggal yang masih utuh bagian-bagiannya. Tak sulit mengidentifikasi daging tersebut sebagai daging anoa karena karakter tanduknya yang lurus dan khas.

Tanpa merasa bersalah, para pedagang ini menjelaskan bagian-bagian badan anoa. Kemudian mereka memandu kami berkeliling melihat-lihat berbagai jenis daging lain, mulai berbagai jenis burung, tikus hutan, kelelawar, ular, babi hutan, hingga babirusa. ”Sekarang harus jauh masuk ke hutan sana untuk bisa dapat anoa,” kata seorang pedagang.

Anoa di Bogani Nani Wartabone selama ini dianggap hampir punah dan sulit untuk bisa dilihat di alam bebas. Namun, para pemburu dengan mudah masih bisa mendapatkannya. ”Kami tahu ini adalah hewan yang dilindungi. Namun, orang yang korupsi saja di Jakarta bisa bebas, masak seperti ini saja akan dipenjara,” ujar seorang pedagang.

Menurut Jiro Wosal (43), salah seorang pedagang, daging anoa dan babirusa lazim diperdagangkan di Pasar Imandi. Dalam sepekan, di desa itu ada tiga kali hari pasar dan selalu ada pasokan daging dari satwa-satwa dilindungi.

Daging anoa dijual Rp 40.000 per kg, lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi Rp 60.000 per kg. Daging babirusa dijual Rp 15.000-Rp 20.000 per kg, sama dengan babi hutan. Harga ini jauh lebih rendah dibandingkan babi ternak sekitar Rp 40.000 per kg. Bagi para pedagang ini, anoa dan babirusa yang nyaris punah itu tak lebih dari seonggok daging. Minat konsumen yang lebih menentukan harganya.

Di antara daging satwa liar itu, hanya kepala babirusa yang dinilai lebih mahal. Menurut Vero Manitik (48), salah seorang pedagang di Imandi, pemburu tidak menjual kepala babirusa ke pedagang daging di pasar tradisional. Ada penadah khusus yang memberikan harga lebih mahal untuk kepala babirusa, terutama untuk bagian taring.

Vero mengatakan, pedagang daging tidak mengkhususkan diri menjual daging tertentu. Apa yang mereka jual bergantung pada kiriman para pemburu. Setiap pemburu biasanya sudah memiliki pedagang langganan yang akan menampung hasil buruannya. Daerah operasi mulai dari Sulawesi Utara, Gorontalo, bahkan untuk beberapa komoditas, seperti kelelawar, didatangkan dari Sulawesi Selatan.

Aktivis lingkungan di Sulawesi, Willie Smits, mengatakan, perdagangan daging satwa dilindungi tak hanya dijumpai di Imandi. Hampir semua pasar tradisional di Minahasa menjual daging satwa liar. Selain untuk konsumsi rumah tangga, daging itu juga untuk memenuhi permintaan restoran-restoran di Jalan Trans-Sulawesi. ”Ada bahasa sandi untuk memesan masakan daging satwa yang dilindungi,” kata Willie.

Saroyo Sumarto mengatakan, ancaman terbesar terhadap keberlanjutan hidup satwa liar di Sulawesi Utara adalah kebiasaan memakan segalanya (bushmeat). ”Masyarakat di sini terbiasa memakang apa saja, mulai dari yaki, kucing, ular, hingga anjing,” katanya.

Boang Lakoy (57), warga Kakas, Minahasa, mengatakan, kebiasaan memakan daging satwa liar telah berlangsung lama. Sejak kecil, dia telah dibiasakan sang ayah, Paul Lakoy, seorang petani, memakan daging babi hutan, yaki, babirusa, anoa, kucing hutan, dan kuskus.

Boang semakin ketagihan memakan beragam satwa hutan ketika menginjak remaja. Apalagi, satwa-satwa itu sering kali dihidangkan dalam berbagai pesta, seperti pembaptisan, perkawinan, hingga ulang tahun. ”Biasanya satwa yang aneh-aneh menjadi rebutan di pesta-pesta. Kalau tidak ada daging monyet atau anjing justru dianggap tidak mewah,” ujar Boang yang mengaku pernah memakan daging dari 21 jenis satwa itu. ”Yang belum saya makan mungkin tarsius karena terlalu kecil, enggak ada dagingnya.”

Kebiasaan memakan berbagai jenis satwa juga diajarkan Boang kepada empat anaknya. ”Cucu saya yang belum genap lima tahun juga sudah menyukai hidangan anjing rica-rica,” katanya.

Fendy Parengkuan, sejarawan dan penulis kuliner dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, mengatakan, memakan daging segala jenis satwa bukanlah sesuatu yang aneh di Sulawesi Utara. Satwa-satwa itu dijual bebas di sejumlah pasar tradisional di Kota Tomohon dan Kota Manado. Di Manado bahkan ada sebuah rumah makan yang menyajikan menu monyet dan kuskus pada hari tertentu setiap minggunya.

”Bagi orang Minahasa, kunci masakan adalah pedas. Asal pedas, apa saja akan dimakan,” kata Fendy. Karena kebiasaan memakan segala jenis makanan ini, menurut Fendy, muncul gurauan populer di kalangan masyarakat Minahasa. Ia menambahkan, ”Semua (hewan) yang berkaki dimakan, kecuali kaki meja. Semua yang terbang dimakan, kecuali pesawat terbang. Semua yang berenang juga dimakan, kecuali kapal.”

Menurut Fendy, kebiasaan memakan segala jenis satwa ini dipengaruhi oleh tradisi kuliner China yang masuk Minahasa pada abad ke-17. Kala itu, bangsa China memperkenalkan jenis makanan yang lebih variatif kepada orang-orang Minahasa. Anjing, misalnya, adalah hewan peliharaan yang awalnya berfungsi menjadi penjaga rumah. Namun, karena cepat sekali berkembang biak dan akhirnya menjadi pengganggu, bangsa China lalu mengajarkan orang Minahasa cara memasak anjing.

 

Kebiasaan memakan satwa hutan semakin marak sejak 1958. Saat itu muncul gerakan Permesta di Sulawesi Utara. ”Banyak warga lari ke hutan. Mereka memakan apa pun hasil buruan demi bertahan hidup,” katanya.

Sejak saat itu, memakan satwa hutan mulai menjadi kebiasaan sehari-hari. Orang tua yang umumnya masih aktif berburu mengajarkan anak-anak mereka memakan hasil buruan. ”Anak-anak mesti memakan apa yang dihidangkan orang tua di meja makan,” kata Fendy.

Selain perburuan untuk konsumsi, menurut Willie, ancaman kepunahan satwa di Sulawesi juga datang dari penyelundupan satwa hidup ke luar negeri. ”Penyelundupan dilakukan melalui Pelabuhan Bitung di Kota Bitung ke Filipina,” katanya.

Di luar faktor perdagangan satwa, keberadaan satwa endemis Sulawesi juga tergerus akibat perambahan hutan, dan, terutama kegiatan pertambangan emas, baik legal maupun ilegal. Selain itu, konversi lahan untuk perkebunan, khususnya sawit, juga kian marak. Menurut data Litbang Kompas yang diolah dari peta satelit Forest Watch Indonesia, selama kurun 2000-2009, pengurangan hutan di Sulawesi mencapai 16.276,09 kilometer persegi (km2).

Pada 2000, luas hutan Sulawesi masih 106.994,64 km2 dan menurun menjadi 90.718,55 km2 pada 2009. Penurunan luas hutan tertinggi terjadi di Sulawesi Selatan, yaitu mencapai 5.578,79 km2, disusul Sulawesi Tengah seluas 4.229,90 km2, dan Sulawesi Tenggara seluas 3.363,86 km2.

”Dibutuhkan upaya serius semua pihak untuk menyelamatkan hutan Sulawesi, terutama dari pemerintah yang paling bertanggung jawab menjaga benteng hayati ini,” kata Amran Achmad. ”Tanpa itu, hutan Sulawesi akan habis.”

Pelajaran barangkali bisa diambil dari konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih di Tangkoko. Keragaman hayati di hutan Tangkoko yang nyaris musnah karena perambahan dan perburuan pada 1990-an kini berangsur membaik seiring pelibatan masyarakat. Warga sekitar hutan yang dulu menjadi pemburu binatang liar beralih menjadi pemandu wisata. Mereka berperan besar menjaga lingkungan karena menyadari manfaat ekonomi yang bisa diperoleh.

”Pelibatan masyarakat sangat penting karena TWA Batuputih berbatasan langsung dengan permukiman penduduk. Manfaat ekonomi cukup efektif mengubah cara pandang warga yang dulu gemar berburu,” ungkap Saroyo.

Hal itu dibuktikan dengan hasil penelitian Universitas Sam Ratulangi dalam satu dekade terakhir bahwa densitas populasi yaki di Tangkoko relatif stabil, yakni 40 ekor per km2. Fakta tersebut tergolong lumayan mengingat kepadatan populasi yaki sempat jatuh dari 300 ekor per km2 (1978) menjadi hanya 66,7 ekor per km2 pada 1994.

Keterlibatan masyarakat dalam pariwisata Tangkoko terjadi sejak awal 1990. Kala itu, seorang warga setempat membuka penginapan Mama Roos untuk mengakomodasi kedatangan sejumlah peneliti asing. Hal itu lambat laun mendorong warga untuk menjadi pemandu.

”Kebetulan warga umumnya mengetahui seluk-beluk hutan karena sering berburu,” ujar Meidy (33), pemandu yang ketika remaja sering berburu yaki dan kuskus. Apalagi, honor menjadi pemandu juga lumayan, yakni Rp 72.000 (wisatawan domestik) dan Rp 85.000 (asing) untuk sekali masuk hutan selama tiga jam. Sementara untuk paket lima jam ditawarkan seharga Rp 200.000 sekali masuk.

Hal tersebut cukup menarik animo warga setempat untuk menjadi pemandu. Saat ini ada 85 pemandu di TWA Batuputih. Selain telah mengetahui seluk-beluk hutan, sejumlah peneliti juga memperkaya wawasan mereka tentang satwa endemis lewat pelatihan.

Jumlah penginapan di sekitar TWA Batuputih pun terus bertambah menjadi enam unit. Tarif menginap semalam tak dipatok terlalu mahal, hanya Rp 200.000-Rp 300.000 per kamar untuk dua orang, termasuk tiga kali makan. Menurut Alfons, sedikitnya 4.000 wisatawan asing berkunjung ke TWA Batuputih sepanjang tahun lalu. Konsep pelibatan masyarakat menjadi contoh ideal bagi kawasan konservasi lain di tengah minimnya jumlah tenaga Balai Konservasi Sumber Daya Alam.

Di tengah laju perusakan hutan yang kian menjadi, kisah konservasi Tangkoko ibarat angin surga. Namun, Tangkoko adalah hutan konservasi yang pertama dan satu-satunya di Sulawesi yang melibatkan masyarakat sekitar untuk menjaganya.

Keragaman hayati Sulawesi yang melegenda nyaris tinggal dongeng, menyisakan hutan-hutan yang terkepung perusakan. Rimba raya menghilang cepat dalam serbuk gergaji pembalak, buldoser perusahaan sawit, dan deru traktor para penambang. Hilangnya hutan Sulawesi berarti hilang juga rekam jejak gejolak geologi jutaan tahun yang membentuk pulau ini dan mengisinya dengan keragaman hayati tak ternilai. Quod avertat Deus! Semoga Tuhan mengelakkan malapetaka itu....

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com