Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potensi Aren dan Politik Gula

Kompas.com - 29/08/2012, 06:09 WIB

Selain untuk memenuhi kebutuhan gula nasional, menurut Pontoh, aren memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan tebu. Dari sisi produksi, tanaman aren bisa menghasilkan 25 ton gula per hektar per tahun. Adapun tebu rata-rata menghasilkan 14 ton gula per hektar per tahun. Panen nira bisa dilakukan setiap hari, sedangkan tebu tidak.

Karakter pohon aren juga lebih luwes dan kuat daripada tebu. Aren bisa tumbuh di lahan kritis serta kontur lahan datar atau miring sekaligus mampu mengonservasi lahan gundul. Penelitian Mujahidin dan tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2003) menyebutkan, akar aren memiliki kemampuan mengikat air dengan baik sehingga bisa ditanam di daerah yang relatif kering.

Aren juga tak memerlukan perawatan khusus atau pemupukan karena pada dasarnya merupakan tanaman hutan sehingga tak perlu pupuk dan irigasi.

Direktur Yayasan Masarang Willie Smits menyatakan, aren tumbuh di hutan sekunder. Artinya, industri gula aren tidak bisa tidak harus melibatkan rakyat sebagai basis utamanya meski keterlibatan investor tetap diperlukan. Pembuatan aren menjadi gula juga bisa dilakukan langsung oleh masyarakat melalui industri rumahan.

Ini berbeda dengan industri pabrik gula atau kelapa sawit yang justru memberikan peluang besar bagi korporasi untuk mengembangkan bisnis secara eksklusif. Sementara keterlibatan rakyat tak lebih sebagai buruh dan penonton.

Dari sisi ekologi, Smits menambahkan, aren adalah tanaman yang konservatif. Aren tidak rakus mengambil air dan unsur hara dalam tanah sebagaimana terjadi pada sawit. Aren tumbuh dengan menyerap sinar matahari. Artinya, menjual produk dari pohon aren sama dengan menjual sinar matahari.

”Kalau kita mengekspor sawit, berarti kita membawa air dan unsur hara dalam tanah ke luar negeri. Kita mengeksploitasi kekayaan bumi Indonesia, yang ke depan semakin langka dan sulit dipulihkan. Kalau kita mengembangkan aren, kita menjual sinar matahari. Dan, ingat, sinar matahari itu kita dapatkan gratis,” kata Smits.

Alasan ekologis inilah yang mendorong Yayasan Masarang mengembangkan industri gula aren semut. Pabrik ini menampung nira dari petani di sekitar Tomohon, Sulawesi Utara. ”Kami bisa memproduksi gula aren hingga 3 ton sehari. Hampir seluruh produk terserap ke pasar Eropa,” ujar Smits. ”Masyarakat Eropa meyakini, gula aren lebih menyehatkan dibandingkan dengan gula tebu.”

Guna menembus pasar Eropa, gula aren diproduksi dalam bentuk gula semut. Sertifikat organik pada area aren di 35 kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan, Tomohon, pun telah didapat. ”Jadi, daripada impor gula pasir, lebih baik kembangkan gula aren yang lebih bernilai ekonomi dan sehat. Ini tinggal persoalan kemauan politik,” ujarnya.

Kendala yang dihadapi perajin gula aren tradisional biasanya adalah ketersediaan bahan bakar untuk memasak air nira. Selama ini, mereka menggunakan kayu. Persoalannya, harga kayu terus merangkak naik. Dari sisi ekologi, hal ini mengancam hutan karena kayu-kayunya potensial dibabat.

Pontoh mengatakan, di Tomohon terdapat empat pembangkit listrik tenaga geotermal (PLTG), yang limbahnya bisa dimanfaatkan untuk mengolah gula nira. ”Saat ini baru satu PLTG yang di Lahendong yang sudah kami manfaatkan untuk memproduksi gula aren semut,” kata Pontoh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com