Bukti lebih jauhnya kita lihat, selama lebih dari satu dekade setelah reformasi tidak kunjung muncul tokoh berkualitas dan memiliki visi kepemimpinan yang ideal, kecuali sekadar pengusaha atau gabungan pengusaha dan penguasa yang menggunakan uang untuk membeli suara pemilih. Ini antidemokrasi, dan kita sebagai generasi muda punya peluang memperbaikinya melalui UU Anti-oligarki.
Tidakkah ini mestinya merupakan tugas DPR sebagai lembaga legislatif?
Seharusnya begitu. Namun, anomali dalam sistem pemilu kita antara lain sumber masalahnya justru sistem kepartaian di DPR. Tak masalah. Itu tidak menghalangi peran publik untuk membantu DPR menyodorkan draf UU Anti-oligarki. Saya atau kami di FISIP Unair belum punya. Jika ada dorongan komunitas hukum dan politik, serta masyarakat lebih luas, termasuk Pak Faisal Basri (mantan kandidat gubernur DKI Jakarta), yang jadi korban praktik pilkada oligarkis ini, kiranya bisa ikut memulai.
Pak Faisal yang mendeklarasikan
Bagaimana dengan istri bupati/wali kota/gubernur untuk tetap memiliki hak dipilih?
Tentu, UU Anti-oligarki jangan menjadi antidemokrasi. Kita bisa mengatur dengan landasan etis, misalnya. Boleh mereka yang disebut ”keluarga” itu maju dalam pilkada, tetapi tidak boleh di satu kota atau satu wilayah, atau harus keluar provinsi. Ini demi membatasi intervensi pengaruh dari
Bagaimana menentukan definisi keluarga?
Kita bisa minta bantuan terminologi dalam hukum, yang disebut keluarga itu yang mana? Kita bisa menggunakan salah satu prinsip dalam hukum pidana dalam menentukan kualitas kesaksian di sidang pengadilan.
Ini sekadar contoh, yakni pertanyaan hakim kepada saksi, ”Apakah saudara berhubungan sebagai suami, istri, anak, saudara terdakwa?” Jika berhubungan, hakim bisa menganggap kualitas kesaksiannya tidak obyektif. Prinsip itu bisa dipakai, dan bisa menggunakan prinsip dalam epistomologi keluarga dalam ilmu-ilmu lain. Termasuk jika pembahasan melebar pada kroniisme.
Apakah ini akan menjamin pemilu yang lebih baik?
Setidaknya generasi kita sudah berusaha terus-menerus secara swadaya memperbaiki