Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Anti-oligarki Cegah Nepotisme

Kompas.com - 18/08/2012, 05:28 WIB

Bukti lebih jauhnya kita lihat, selama lebih dari satu dekade setelah reformasi tidak kunjung muncul tokoh berkualitas dan memiliki visi kepemimpinan yang ideal, kecuali sekadar pengusaha atau gabungan pengusaha dan penguasa yang menggunakan uang untuk membeli suara pemilih. Ini antidemokrasi, dan kita sebagai generasi muda punya peluang memperbaikinya melalui UU Anti-oligarki.

Tidakkah ini mestinya merupakan tugas DPR sebagai lembaga legislatif?

Seharusnya begitu. Namun, anomali dalam sistem pemilu kita antara lain sumber masalahnya justru sistem kepartaian di DPR. Tak masalah. Itu tidak menghalangi peran publik untuk membantu DPR menyodorkan draf UU Anti-oligarki. Saya atau kami di FISIP Unair belum punya. Jika ada dorongan komunitas hukum dan politik, serta masyarakat lebih luas, termasuk Pak Faisal Basri (mantan kandidat gubernur DKI Jakarta), yang jadi korban praktik pilkada oligarkis ini, kiranya bisa ikut memulai.

Pak Faisal yang mendeklarasikan we are five percents, artinya ada 5 persen masyarakat yang galau dan mendukung ide antioligarki ini. Mereka inilah yang tidak ingin kepala daerah hasil pemilu transaksi, yang di AS antara lain slogannya berbunyi ”America is not for sale” dalam sebuah film. Kita bisa mulai dengan membuat kodifikasi agenda, termasuk memperbesar peluang untuk dipilih. Sebab, praktik oligarki politik saat ini, meski menjamin peluang untuk memilih, kenyataannya membatasi peluang untuk dipilih. Sebab, yang bisa dipilih harus punya modal miliaran rupiah, dan itu tidak dimiliki oleh kita-kita ini.

Bagaimana dengan istri bupati/wali kota/gubernur untuk tetap memiliki hak dipilih?

Tentu, UU Anti-oligarki jangan menjadi antidemokrasi. Kita bisa mengatur dengan landasan etis, misalnya. Boleh mereka yang disebut ”keluarga” itu maju dalam pilkada, tetapi tidak boleh di satu kota atau satu wilayah, atau harus keluar provinsi. Ini demi membatasi intervensi pengaruh dari incumbent. Atau, boleh maju di kota/kabupaten/provinsi yang sama, tetapi harus melewati satu kali jeda pilkada yang tidak boleh diikutinya.

Bagaimana menentukan definisi keluarga?

Kita bisa minta bantuan terminologi dalam hukum, yang disebut keluarga itu yang mana? Kita bisa menggunakan salah satu prinsip dalam hukum pidana dalam menentukan kualitas kesaksian di sidang pengadilan.

Ini sekadar contoh, yakni pertanyaan hakim kepada saksi, ”Apakah saudara berhubungan sebagai suami, istri, anak, saudara terdakwa?” Jika berhubungan, hakim bisa menganggap kualitas kesaksiannya tidak obyektif. Prinsip itu bisa dipakai, dan bisa menggunakan prinsip dalam epistomologi keluarga dalam ilmu-ilmu lain. Termasuk jika pembahasan melebar pada kroniisme.

Apakah ini akan menjamin pemilu yang lebih baik?

Setidaknya generasi kita sudah berusaha terus-menerus secara swadaya memperbaiki sistem politik dan sistem demokrasi kita. Itu proses yang terus-menerus. Bukankah hal terbaik dalam demokrasi bukan sifat demokratisnya sebenarnya, melainkan kemampuannya mengoreksi demokrasi itu sendiri. (DEN/ODY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com