Hukum memang tak memasalahkan. Namun, substansi politiknya jelas merugikan. Merugikan masyarakat karena menghalang-halangi munculnya kandidat berkualitas. Merugikan kelanjutan sistem pemerintahan karena pilihan kebijakan selama berkali-kali pemilihan kepala daerah tak akan ada perubahan sebab kepala daerahnya berturut-turut keluarga itu-itu melulu. Tentu ini menimbulkan kegalauan,” kata Joko Susanto, pengajar di Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, beberapa waktu lalu.
Contoh yang mencolok adalah konfigurasi penguasa di Provinsi Banten. Joko pun merasa pilkada di daerah tempat tinggalnya di Kediri, Jawa Timur, telah mencurangi pemilih. Setelah Kediri dipimpin seorang bupati, pada pilkada berikutnya, muncul dua calon bupati yang berkontestasi, yaitu istri tua bupati dan istri muda bupati.
Hukum tak berdaya karena hukum hanya terhenti pada operasi formal. Politik formal, dalam bentuk sistem kepartaian, panitia pengawas hingga komisi pemilihan umum tak mampu menghadang praktik tidak etis ini. Para pihak yang mendukung atau tim sukses senantiasa mengajukan dalih dengan mengambil contoh Amerika Serikat. Ada dua Bush, bapak dan anak yang pernah menjadi Presiden AS. Ada dua Clinton, seorang presiden dan seorang istri mantan presiden yang
Apakah kasus di AS tersebut bisa dijadikan acuan?
Tidak bisa begitu. Pemilu AS dan pemilu Indonesia berada dalam kerangka politik dan sosial berbeda. Pemilu AS yang diikuti sedikit pemilih, tetapi mereka yang datang ke bilik pemungutan suara adalah pemilih yang aktif (
Pemilih kita bukan jenis seperti itu. Pemilih kita tidak mengantongi referensi yang cukup terhadap kapasitas kandidat, kecuali sekadar alasan primordial atau alasan
Jadi ini perlu dibuatkan regulasi?
Jelas. Supaya ketidakberdayaan sistem hukum dan politik menghadapi gejala nepotisme ini bisa distop, perlu regulasi. Bukankah hukum memang antara lain bertugas membatasi atau melarang demi sebuah tujuan luhur politik. Saya dan gugus pemikiran semacam di FISIP Unair mengusulkan perlunya Undang-Undang Anti-oligarki. Dasar etisnya sejenis dengan Undang-Undang Antimonopoli dalam bidang ekonomi. Mengapa oligarki, yang berasal dari kata ”
Praktik pemilu nepotisme ini dengan demikian bermakna antidemokrasi. Sebab, model praksis pemilu telah mengeksklusi calon kandidat hanya yang memiliki sejumlah uang tertentu yang bisa berpartisipasi. Uang itu di daerah (pada kasus pilkada) dimiliki keluarga tertentu atau keluarga
Bukti lebih jauhnya kita lihat, selama lebih dari satu dekade setelah reformasi tidak kunjung muncul tokoh berkualitas dan memiliki visi kepemimpinan yang ideal, kecuali sekadar pengusaha atau gabungan pengusaha dan penguasa yang menggunakan uang untuk membeli suara pemilih. Ini antidemokrasi, dan kita sebagai generasi muda punya peluang memperbaikinya melalui UU Anti-oligarki.
Tidakkah ini mestinya merupakan tugas DPR sebagai lembaga legislatif?
Seharusnya begitu. Namun, anomali dalam sistem pemilu kita antara lain sumber masalahnya justru sistem kepartaian di DPR. Tak masalah. Itu tidak menghalangi peran publik untuk membantu DPR menyodorkan draf UU Anti-oligarki. Saya atau kami di FISIP Unair belum punya. Jika ada dorongan komunitas hukum dan politik, serta masyarakat lebih luas, termasuk Pak Faisal Basri (mantan kandidat gubernur DKI Jakarta), yang jadi korban praktik pilkada oligarkis ini, kiranya bisa ikut memulai.
Pak Faisal yang mendeklarasikan
Bagaimana dengan istri bupati/wali kota/gubernur untuk tetap memiliki hak dipilih?
Tentu, UU Anti-oligarki jangan menjadi antidemokrasi. Kita bisa mengatur dengan landasan etis, misalnya. Boleh mereka yang disebut ”keluarga” itu maju dalam pilkada, tetapi tidak boleh di satu kota atau satu wilayah, atau harus keluar provinsi. Ini demi membatasi intervensi pengaruh dari
Bagaimana menentukan definisi keluarga?
Kita bisa minta bantuan terminologi dalam hukum, yang disebut keluarga itu yang mana? Kita bisa menggunakan salah satu prinsip dalam hukum pidana dalam menentukan kualitas kesaksian di sidang pengadilan.
Ini sekadar contoh, yakni pertanyaan hakim kepada saksi, ”Apakah saudara berhubungan sebagai suami, istri, anak, saudara terdakwa?” Jika berhubungan, hakim bisa menganggap kualitas kesaksiannya tidak obyektif. Prinsip itu bisa dipakai, dan bisa menggunakan prinsip dalam epistomologi keluarga dalam ilmu-ilmu lain. Termasuk jika pembahasan melebar pada kroniisme.
Apakah ini akan menjamin pemilu yang lebih baik?
Setidaknya generasi kita sudah berusaha terus-menerus secara swadaya memperbaiki