Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Anti-oligarki Cegah Nepotisme

Kompas.com - 18/08/2012, 05:28 WIB

Praktik nepotisme dalam pemilihan kepala daerah berkembang sebagai gejala yang meracuni model pemilihan umum langsung. Sistem hukum dan sistem politik tak berdaya menghadapinya. Alasannya sederhana, setiap orang berhak maju dalam pilkada meski itu istri kepala daerah yang sedang menjabat.

Hukum memang tak memasalahkan. Namun, substansi politiknya jelas merugikan. Merugikan masyarakat karena menghalang-halangi munculnya kandidat berkualitas. Merugikan kelanjutan sistem pemerintahan karena pilihan kebijakan selama berkali-kali pemilihan kepala daerah tak akan ada perubahan sebab kepala daerahnya berturut-turut keluarga itu-itu melulu. Tentu ini menimbulkan kegalauan,” kata Joko Susanto, pengajar di Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, beberapa waktu lalu.

Contoh yang mencolok adalah konfigurasi penguasa di Provinsi Banten. Joko pun merasa pilkada di daerah tempat tinggalnya di Kediri, Jawa Timur, telah mencurangi pemilih. Setelah Kediri dipimpin seorang bupati, pada pilkada berikutnya, muncul dua calon bupati yang berkontestasi, yaitu istri tua bupati dan istri muda bupati.

Hukum tak berdaya karena hukum hanya terhenti pada operasi formal. Politik formal, dalam bentuk sistem kepartaian, panitia pengawas hingga komisi pemilihan umum tak mampu menghadang praktik tidak etis ini. Para pihak yang mendukung atau tim sukses senantiasa mengajukan dalih dengan mengambil contoh Amerika Serikat. Ada dua Bush, bapak dan anak yang pernah menjadi Presiden AS. Ada dua Clinton, seorang presiden dan seorang istri mantan presiden yang sempat maju dalam pencalonan.

Apakah kasus di AS tersebut bisa dijadikan acuan?

Tidak bisa begitu. Pemilu AS dan pemilu Indonesia berada dalam kerangka politik dan sosial berbeda. Pemilu AS yang diikuti sedikit pemilih, tetapi mereka yang datang ke bilik pemungutan suara adalah pemilih yang aktif (active voter). Di Indonesia, kelompok masyarakat yang datang ke bilik pemungutan suara merupakan naif and passive voter (pemilih yang tak mengerti apa-apa). Pemilih AS, meskipun persentasenya kecil dibanding yang berhak memilih, mereka mengamati dengan teliti para calon kontestan. Dukungan media yang beragam dan bebas untuk menjamin mobilisasi media yang obyektif juga tersedia. Pemilih di AS memilih bapak dan anak atau suami dan istri dalam satu keluarga klan politik tanpa kehilangan obyektivitas dan daya kritis terhadap kapasitas masing-masing secara individual.

Pemilih kita bukan jenis seperti itu. Pemilih kita tidak mengantongi referensi yang cukup terhadap kapasitas kandidat, kecuali sekadar alasan primordial atau alasan money politics. Pemilu langsung hanya langsung secara formalitas, tetapi tidak secara substansial menghasilkan seleksi kepemimpinan berkualitas. Pemilih kita memilih bangsawan usul, pemuka masyarakat karena asal-usul, bukan karena kapasitas kepemimpinannya. Ini jelas salah, dan karena itu harus dikoreksi.

Jadi ini perlu dibuatkan regulasi?

Jelas. Supaya ketidakberdayaan sistem hukum dan politik menghadapi gejala nepotisme ini bisa distop, perlu regulasi. Bukankah hukum memang antara lain bertugas membatasi atau melarang demi sebuah tujuan luhur politik. Saya dan gugus pemikiran semacam di FISIP Unair mengusulkan perlunya Undang-Undang Anti-oligarki. Dasar etisnya sejenis dengan Undang-Undang Antimonopoli dalam bidang ekonomi. Mengapa oligarki, yang berasal dari kata ”oligarch” atau kelompok elite, eksklusif? Maknanya dalam terminologi politik sudah jelas karena gejala itu memunculkan monopoli kekuasaan pada kelompok kecil orang atau dalam terminologi disebut ”oligarki”.

Praktik pemilu nepotisme ini dengan demikian bermakna antidemokrasi. Sebab, model praksis pemilu telah mengeksklusi calon kandidat hanya yang memiliki sejumlah uang tertentu yang bisa berpartisipasi. Uang itu di daerah (pada kasus pilkada) dimiliki keluarga tertentu atau keluarga incumbent (petahana). Seorang guru SD cerdas bergaji pas-pasan tetapi dicintai dan teladan masyarakat model Umar Bakri dalam lagunya Iwan Fals sudah pasti tersingkir. Ini sekadar contoh. Melalui UU Anti-oligarki, kebekuan politik ini berusaha dipecahkan.

Bukti lebih jauhnya kita lihat, selama lebih dari satu dekade setelah reformasi tidak kunjung muncul tokoh berkualitas dan memiliki visi kepemimpinan yang ideal, kecuali sekadar pengusaha atau gabungan pengusaha dan penguasa yang menggunakan uang untuk membeli suara pemilih. Ini antidemokrasi, dan kita sebagai generasi muda punya peluang memperbaikinya melalui UU Anti-oligarki.

Tidakkah ini mestinya merupakan tugas DPR sebagai lembaga legislatif?

Seharusnya begitu. Namun, anomali dalam sistem pemilu kita antara lain sumber masalahnya justru sistem kepartaian di DPR. Tak masalah. Itu tidak menghalangi peran publik untuk membantu DPR menyodorkan draf UU Anti-oligarki. Saya atau kami di FISIP Unair belum punya. Jika ada dorongan komunitas hukum dan politik, serta masyarakat lebih luas, termasuk Pak Faisal Basri (mantan kandidat gubernur DKI Jakarta), yang jadi korban praktik pilkada oligarkis ini, kiranya bisa ikut memulai.

Pak Faisal yang mendeklarasikan we are five percents, artinya ada 5 persen masyarakat yang galau dan mendukung ide antioligarki ini. Mereka inilah yang tidak ingin kepala daerah hasil pemilu transaksi, yang di AS antara lain slogannya berbunyi ”America is not for sale” dalam sebuah film. Kita bisa mulai dengan membuat kodifikasi agenda, termasuk memperbesar peluang untuk dipilih. Sebab, praktik oligarki politik saat ini, meski menjamin peluang untuk memilih, kenyataannya membatasi peluang untuk dipilih. Sebab, yang bisa dipilih harus punya modal miliaran rupiah, dan itu tidak dimiliki oleh kita-kita ini.

Bagaimana dengan istri bupati/wali kota/gubernur untuk tetap memiliki hak dipilih?

Tentu, UU Anti-oligarki jangan menjadi antidemokrasi. Kita bisa mengatur dengan landasan etis, misalnya. Boleh mereka yang disebut ”keluarga” itu maju dalam pilkada, tetapi tidak boleh di satu kota atau satu wilayah, atau harus keluar provinsi. Ini demi membatasi intervensi pengaruh dari incumbent. Atau, boleh maju di kota/kabupaten/provinsi yang sama, tetapi harus melewati satu kali jeda pilkada yang tidak boleh diikutinya.

Bagaimana menentukan definisi keluarga?

Kita bisa minta bantuan terminologi dalam hukum, yang disebut keluarga itu yang mana? Kita bisa menggunakan salah satu prinsip dalam hukum pidana dalam menentukan kualitas kesaksian di sidang pengadilan.

Ini sekadar contoh, yakni pertanyaan hakim kepada saksi, ”Apakah saudara berhubungan sebagai suami, istri, anak, saudara terdakwa?” Jika berhubungan, hakim bisa menganggap kualitas kesaksiannya tidak obyektif. Prinsip itu bisa dipakai, dan bisa menggunakan prinsip dalam epistomologi keluarga dalam ilmu-ilmu lain. Termasuk jika pembahasan melebar pada kroniisme.

Apakah ini akan menjamin pemilu yang lebih baik?

Setidaknya generasi kita sudah berusaha terus-menerus secara swadaya memperbaiki sistem politik dan sistem demokrasi kita. Itu proses yang terus-menerus. Bukankah hal terbaik dalam demokrasi bukan sifat demokratisnya sebenarnya, melainkan kemampuannya mengoreksi demokrasi itu sendiri. (DEN/ODY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com