JAKARTA, KOMPAS.com — Fenomena politisi yang pindah partai tidak bisa digeneralisasi dengan istilah "kutu loncat". Hal itu, menurut peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, Kamis (26/7/2012), karena migrasi politisi terjadi didasari motif yang variatif.
Hanta mengidentifikasi motif itu, misalnya motif electoral, yaitu apabila politisi bersangkutan berniat mendapatkan kendaraan politik yang relatif menjanjikan, kendaraan bagi calon anggota legislastif ataupun calon kepala daerah.
Motif berikutnya adalah power, terkait pengaruh dan kekuasaan. Hal ini biasanya terjadi pada politisi yang "tersingkirkan" di partai atau faksi internal yang tersingkir atau kalah dalam pertarungan internal, lalu membuat partai baru atau pindah partai.
Motif ketiga adalah "sekuritas politik" manakala politisi pindah untuk mengamankan jabatannya, kepala daerah migrasi memerlukan dukungan partai di DPRD yang lebih kuat untuk pengamanan kebijakannya, atau politis pindah ke partai penguasa untuk mengamankan posisi hukumnya jika dia diindikasikan akan dijadikan tersangka.
Motif keempat adalah soal "kapital", di mana politisi pindah partai dengan motif untuk mendapatkan dukungan dana kampanye, mengingat pemilu kita berbiaya tinggi.
Seperti diberitakan, belakagan ini santer kabar menyangkut perpindahan politisi ke parpol lain. Kabar itu antara lain dipicu oleh pernyataan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Rio Patrice Capella bahwa terdapat 37 anggota DPR yang telah menjalin komunikasi intensif untuk bergabung dengan partainya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.