Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Denyut Toleransi di Kota Wali

Kompas.com - 21/07/2012, 02:49 WIB

Rini Kustiasih

Beberapa meter dari Pasar Jagasatru, Kota Cirebon, Jawa Barat, Nur Hayati (64), alias Tjiang Kwa, duduk di tepi jalan, dengan meja kecil, menjajakan aneka pepesan. Lewat pepesan itu, konsep Bhinneka Tunggal Ika melebur bersama denyut warga ”Kota Wali” ini.

Tidak susah mengenali Tjiang Kwa. Parasnya ayu dan putih di usianya yang senja, mudah ditemukan di antara pelanggan yang pada sore pekan lalu membeli pepesan buatannya. ”Yah bagenlah, nemratusan bae ya (Ya sudahlah, Rp 600 saja, ya),” kata Tjiang Kwa, sambil menyerahkan lima pepesan oncom terakhir yang tersisa dalam plastik. Dagangannya pun ludes terjual.

Perempuan yang murah senyum ini bersukacita menceritakan Cirebon, tanah kelahirannya. Menurut Tjiang Kwa, warga kotanya terbuka, tak usil, dan bertoleransi tinggi. ”Dengan tetangga sekitar, saya tak pernah bertengkar hanya karena saya keturunan Tionghoa. Semua tidak ada bedanya,” ujarnya.

Tjiang Kwa tinggal di Kampung Purwasari, Kelurahan Pulasaren, sekitar 1 kilometer arah barat dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Tak jauh dari sana ada Jalan Petratean dan Pekalipan sebagai pusat perdagangan hasil bumi. Kebanyakan pedagang keturunan Tionghoa.

Kehangatan relasi sosial, seperti dirasakan Tjiang Kwa, sejatinya dibangun sejak abad ke-14 oleh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Melalui dialog kebudayaan, Gunung Jati mengakomodasi tradisi lama dengan napas keislaman yang damai dan percaya diri. Seperti diterangkan R Achmad Opan Safari Hasyim, pengajar Sejarah Peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon, yang meneliti naskah kuno dan Babad Cirebon.

Opan mencatat, dalam Kitab Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon, yang ditulis sekitar abad ke-17, disebutkan asal kata Cirebon adalah sarumban, yang berkembang menjadi caruban, yang artinya campuran. Orang dari berbagai etnis dan agama campur baur di kota pelabuhan ini. Banyak pendatang singgah mengisi perbekalan atau berdagang.

Kompleks keraton, kini ada tiga keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta satu perguruan Kaprabonan, pun kaya akulturasi budaya. Bangunan Siti Inggil di Kasepuhan dan Kanoman, misalnya, mengadopsi gerbang berupa bangunan berundak dari Hindu. Tembok dihiasi keramik dari China. Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kasepuhan juga dibangun dengan atap limasan dan pintu gerbang menyerupai pura berwarna merah.

Saat Belanda masuk ke Cirebon pada abad ke-16, unsur Kristen mewarnai peradaban Kota Wali. Ruang Prabayaksa di Keraton Kasepuhan, misalnya, dindingnya dihiasi porselen Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Setiap keramik menggambarkan cerita nabi dalam Injil Perjanjian Lama.

Interaksi harmonis

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com