Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Publik Melawan

Kompas.com - 13/07/2012, 04:14 WIB

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Pemilihan umum kepala daerah di DKI Jakarta, Rabu (11/7), mempertontonkan sebuah upaya konsolidasi demokrasi yang mengubah stigma kuatnya primordialitas dalam ajang pilkada. Kali ini, publik Jakarta seolah melawan cap yang ditempelkan di kening mereka oleh hegemoni lembaga survei dan kekuatan petahana.

Tanda-tanda bahwa publik Jakarta semakin rasional dan selektif memilih calon pemimpin mereka seharusnya sudah terbaca dari hasil riset yang dilakukan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang menempatkan DKI Jakarta pada urutan atas dalam indeks demokrasi (IDI). Bahkan, jika dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM), Jakarta menempati urutan teratas dari 33 provinsi.

Ini artinya, sulit untuk mengatakan bahwa publik Jakarta tidak akan mampu melakukan perubahan politik secara cepat. Sebaliknya, modal itu menjadi aset yang memungkinkan terjadinya pembalikan keadaan secara mendadak dalam situasi-situasi tertentu. Gerakan massa pada 1998 dan kini, pilkada 2012, menjadi bukti potensi kekuatan itu.

Pilkada Jakarta yang sementara ini menempatkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) di urutan pertama merupakan gambaran yang memperlihatkan rasionalitas publik Jakarta dalam memilih sekaligus melawan dominasi politik petahana. Setidaknya, terdapat lima lembaga penelitian yang melakukan penghitungan cepat dan memperkirakan pasangan Jokowi-Ahok akan memperoleh 42-43 persen suara, mengalahkan petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli. Padahal, sebelum pilkada, hasil survei selalu menempatkan pasangan yang dikenal dengan sebutan Foke-Nara itu jauh lebih unggul dari pasangan Jokowi-Ahok.

Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok ini bisa dibaca dari beberapa sisi. Pertama, gejala ini memperlihatkan sebuah perilaku publik yang memilih berdasarkan pada pembelaan terhadap siapa yang dipersepsikan lemah (underdog effect). Selama ini, pasangan Foke-Nara dipersepsikan sebagai kekuatan petahana yang sulit dikalahkan. Lewat dominasi penguasaan media publikasi dan pencitraan yang terbentuk oleh hasil-hasil survei, Foke-Nara seolah menjadi sosok raksasa yang tidak mungkin terkalahkan dan bakal menang dalam satu kali putaran. Hari pencoblosan, Rabu, menjadi ajang pembuktian konsolidasi di mana publik mampu membentuk barisan pendukung calon yang dipersepsikan berada di urutan kedua dan membalikkannya menjadi yang pertama.

Di sisi lain, keunggulan Jokowi-Ahok juga memperlihatkan gerakan kelas menengah atas yang solid menggalang dukungan. Pasangan ini paling banyak mendapat dukungan dari kelas menengah atas dan atas. Hasil survei pasca-pemilihan (exit poll) yang dilakukan oleh Litbang Kompas memperlihatkan besarnya dukungan kelas tersebut kepada pasangan ini. Jika kepada pasangan Foke-Nara hanya 33,3 persen dari kalangan kelas menengah atas yang memberikan dukungannya, kepada pasangan Jokowi-Ahok dukungan yang diperoleh dari kelas ini mencapai 42,1 persen.

Pasangan Jokowi-Ahok juga mendulang dukungan sangat besar (58,8 persen) dari kelas atas jika dibandingkan dengan dukungan yang diperoleh Foke-Nara yang hanya 17,6 persen. Kelas menengah atas dan atas dalam penelitian ini adalah mereka yang dicirikan dengan berpendidikan sarjana-pascasarjana, memiliki pengeluaran keluarga di atas Rp 5 juta per bulan, atau rumahnya menggunakan listrik dengan daya di atas 2.200 watt.

Meskipun tidak tampak di permukaan, dalam beberapa kesempatan, kalangan ini memang aktif menggalang dukungan hingga ke akar rumput, baik lewat pengorganisasian langsung maupun melalui sarana telekomunikasi. Sehari menjelang pemilihan, aura dukungan terhadap pasangan Jokowi-Ahok semakin eksplisit.

Tampaknya, gerakan kelas menengah atas ini ”menetes” ke bawah, menjadi model yang mencairkan kebekuan politik akar rumput yang sebelumnya dipenuhi oleh ikatan primordialitas yang kental. Pertarungan yang sebelumnya diprediksi akan dipenuhi oleh ikatan agama, sukuisme, dan kedaerahan pun mengendur. Kehadiran calon yang berasal dari daerah lain dapat diterima dengan terbuka. Meskipun tetap ada kecenderungan etnisitas memainkan peran, hal ini tidak sepekat yang diperkirakan sebelumnya, terbukti dari dukungan sekitar 21,8 persen etnis Betawi kepada Jokowi-Ahok.

Suara mengambang

Pasangan Jokowi-Ahok diperkirakan mampu menyedot suara mengambang dari masyarakat yang selama ini belum menentukan pilihannya. Gambaran itu terlihat dari perbandingan antara survei Litbang Kompas yang dilakukan pada Mei lalu dan hasil penghitungan cepat yang dilakukan pada hari pilkada.

Dari enam pasangan yang bertarung, hanya Jokowi-Ahok yang mengalami perubahan sangat drastis, sementara perolehan suara pasangan lain relatif sama dengan hasil survei. Dalam survei Mei lalu, suara untuk Jokowi-Ahok diperkirakan berada di kisaran 21,7 persen, sementara suara untuk Foke-Nara 34,9 persen, Faisal Basri-Biem Benjamin 5 persen, Alex Noerdin-Nono Sampono 4,1 persen, dan Hendardji Soepandji-A Riza Patria 2,3 persen.

Jika dibandingkan dengan hasil penghitungan cepat 11 Juli kemarin, perolehan suara untuk pasangan-pasangan tersebut relatif sama. Kenaikan terbesar, dua kali lipat dari survei sebelumnya, terjadi pada Jokowi-Ahok yang kini diprediksi meraih 42,59 persen.

Sementara itu, kenaikan dalam jumlah sedikit terjadi pada pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini yang dalam survei sebelumnya diperkirakan mendapat 6,1 persen dan kini menjadi 11,4 persen. Suara dari mereka yang saat itu belum menentukan pilihan—berada di kisaran 26 persen—tampaknya tersedot ke pasangan Jokowi-Ahok dan sedikit ke Hidayat-Didik.

Sosok pasangan Jokowi dan Ahok juga memperkuat harapan masyarakat akan perbaikan kehidupan di ibu kota negara ini. Mereka dipandang mampu berperan besar dalam soal yang selama ini cukup dilupakan, yakni beberapa persoalan kelas bawah. Soal yang selama ini luput dari perhatian utama kebanyakan calon adalah pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pengangguran. Kebanyakan calon lebih fokus kepada problem kemacetan dan banjir.

Tampaknya, harapan pada pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pengangguran justru menjadi kunci yang turut mengangkat suara Wali Kota Solo Jokowi dan mantan Bupati Belitung Timur itu. Kedua orang ini dikenal luas memiliki prestasi yang baik dalam mengelola daerahnya sebelum maju mencalonkan diri dalam pilkada gubernur ini.

Berdasarkan hasil survei pasca-pemilihan, masyarakat yang menaruh perhatian kepada pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran cenderung lebih memilih pasangan ini.

(Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com