Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelompok Kekerasan, Tantangan Berat Polri

Kompas.com - 02/07/2012, 09:39 WIB

KOMPAS.com - Tanggal 1 Juli 2012, Kepolisian Negara RI memperingati Hari Bhayangkara Ke-66. Dilihat dari usia, Polri sudah berusia lanjut dan memiliki banyak pengalaman. Namun, dalam usia lanjut itu, Polri kian menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat.

Lihat saja kasus-kasus bentrok antarkelompok atau konflik sosial, baik berlatar belakang ekonomi maupun suku, agama, ras, dan antar-golongan. Dari urusan lahan parkir, lahan perkebunan atau pertambangan, urusan aliran kepercayaan dan keyakinan, atau urusan lainnya.

Beberapa kasus, misalnya, bentrok antarkelompok massa di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang berbuntut ke Tangerang Selatan dan Kota Tangerang; bentrok antarkelompok di Papua, bentrok antarkelompok di Batam, Kepulauan Riau; konflik sosial dalam sengketa pemilihan kepala daerah di Papua; atau konflik sengketa lahan di area perkebunan dan pertambangan di berbagai wilayah.

Sebagai buah ”reformasi”, kelompok-kelompok massa yang rentan melakukan aksi premanisme, termasuk kelompok intoleran, semakin tumbuh dan hadir nyata di masyarakat. Sadar atau tidak sadar, bangsa Indonesia ibarat hidup dalam negara ”preman” atau ”mafioso”.

Namun, Polri sebagai institusi yang menjalankan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri masih jauh dari harapan. Polri belum sepenuhnya dapat diandalkan mampu menangani berbagai aksi kelompok rentan dan menjaga rasa aman masyarakat.

Konflik antarkelompok atau konflik sosial dengan berbagai latar belakang sebenarnya tidak terjadi spontan atau tiba-tiba. ”Konflik itu tidak terjadi tiba-tiba dan spontan. Konflik itu memiliki eskalasi dan mobilisasi. Persoalannya, polisi atau intelijen lemah dalam mendeteksi eskalasi konflik,” kata Koordinator Program Pascasarjana Psikologi Perdamaian Universitas Indonesia Ichsan Malik. Koordinasi, kedekatan, dan komunikasi aparat intelijen dengan kelompok-kelompok rentan, termasuk dengan instansi terkait seperti pemerintah daerah, juga lemah.

Atau sebaliknya, lanjut Ichsan, polisi seperti intelijen polisi sebenarnya sudah mendeteksi eskalasi konflik. Namun, polisi cenderung mendiamkan sehingga terkesan ada pembiaran. Setelah eskalasi membesar, terjadi mobilisasi massa, dan aksi kekerasan yang meluas, baru polisi muncul dan bertindak mengamankan. ”Polisi cenderung terlambat,” tuturnya.

Kesan terjadi pembiaran itu juga kerap terjadi di masyarakat. Dalam konflik berlatar belakang agama, aparat kepolisian ibarat juga terkesan tak berdaya menghadapi kelompok intoleran.

Suka atau tidak suka, aparat keamanan pada masa pemerintah Orde Baru (Orba) cukup ”mahir” dalam manajemen konflik. Hampir jarang terjadi aksi-aksi kekerasan antarkelompok yang berujung pada aksi kekerasan. Bahkan, sering kali terjadi, kelompok-kelompok yang berkumpul untuk suatu rapat- rapat atau aksi langsung sudah dideteksi atau dipantau oleh intelijen Kodim.

Ichsan mengakui, suka atau tidak suka, aparat keamanan pada pemerintahan Orba memiliki tingkat deteksi yang sangat baik. Aparat keamanan memiliki peta kelompok rentan terhadap aksi premanisme dan kekerasan, berikut tokoh-tokohnya.

Aparat keamanan juga mampu ”mengendalikan” kelompok-kelompok tersebut. ”Kalau terjadi eskalasi dan aksi kekerasan, apalagi bernuansa SARA, langsung dihantam. Kalau ada api kecil, langsung dipadamkan. Kalau perlu, 10 batalyon diturunkan,” tutur Ichsan.

Akan tetapi, pada masa reformasi, berbagai kelompok rentan aksi kekerasan muncul ke permukaan dan semakin menunjukkan eksistensi yang mengkhawatirkan rasa aman masyarakat. Konflik-konflik sosial pun semakin merebak.

Terhadap konflik-konflik sosial itu, Polri tentu tidak ingin dituding lemah atau tidak berdaya untuk mengatasinya. Aparat kepolisian selalu bertindak dengan mengedepankan upaya penegakan hukum.

Bahkan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo pernah menyebutkan, pihak Polri segera membentuk detasemen penanggulangan anarki untuk menangani kasus-kasus kekerasan atau tindakan anarki yang destruktif. Pembentukan detasemen itu dilatarbelakangi oleh munculnya aksi-aksi kekerasan (Kompas, 2/3/2011).

Terkait dengan kasus-kasus konflik sosial, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengungkapkan, polisi pada dasarnya bertindak untuk menegakkan hukum. Namun, ia mengakui latar belakang konflik bersumber dari berbagai masalah yang seharusnya juga menjadi perhatian instansi lain.

Misalnya, terkait dengan konflik sengketa lahan di area perkebunan atau pertambangan. Menurut Saud, pemberian izin usaha perkebunan dan pertambangan berada pada kewenangan pemerintah daerah. Karena itu, dalam pemberian izin, pemerintah daerah seharusnya memperhatikan kondisi masyarakat setempat.

Bukan beban Polri saja

Argumen Polri mungkin ada benarnya. Konflik sosial dengan berbagai latar belakang masalah itu memang tidak dapat dibebankan kepada Polri semata. Munculnya kelompok-kelompok organisasi kemasyarakatan yang cukup rentan dengan aksi kekerasan juga berada pada tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri. Sejauh mana Kemendagri memberikan pengawasan dan penindakan terhadap kelompok-kelompok organisasi kemasyarakatan tersebut?

Dalam menangani konflik sosial di Mesuji, misalnya, pemerintah sebenarnya telah membuat tim gabungan pencari fakta (TGPF). Rekomendasi yang disampaikan TGPF cukup substansial dan menyeluruh.

TGPF antara lain merekomendasikan kepada Presiden untuk mempertimbangkan menerbitkan Inpres Reforma Agraria yang pelaksanaannya dipantau oleh Unit Kerja Presiden. TGPF juga merekomendasikan Polri untuk meningkatkan kapasitas penanganan konflik. TGPF mendorong pelarangan penerimaan dana dari pihak ketiga untuk menjaga netralitas dan profesionalitas kerja Polri. Persoalannya, bagaimana tindak lanjut dari rekomendasi tersebut.

Pada akhirnya, kemampuan manajemen konflik berada pada kewenangan pemerintahan, bukan kelompok massa. Polri pun semakin dituntut profesional untuk mampu mendeteksi dan mencegah konflik, termasuk penegakan hukum dengan menindak pelaku kekerasan. (Ferry Santoso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Nasional
BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

Nasional
Luhut Ingatkan soal Orang 'Toxic', Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Luhut Ingatkan soal Orang "Toxic", Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Nasional
Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Nasional
[POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

[POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

Nasional
Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

Nasional
Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com