Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Grasi Corby Disesalkan

Kompas.com - 24/05/2012, 05:31 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam pemberantasan narkoba setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Schapelle Corby (34), terpidana kasus narkoba asal Australia. Presiden dianggap lemah menghadapi tekanan negara lain.

Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil mengatakan, pemberian grasi itu tak sesuai dengan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM memperketat pengurangan hukuman bagi narapidana kasus korupsi, terorisme, dan penyalahgunaan narkoba.

”Keputusan Presiden memberikan grasi berupa potongan lima tahun penjara kepada Corby patut disesalkan,” kata Nasir di Jakarta, Rabu (23/5). Menurut dia, pertimbangan pemberian grasi tidak jelas.

Pakar hukum tata negara dan mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pemberian grasi kepada Corby bukan langkah bijak dalam pemberantasan narkoba.

Menurut Yusril, sepanjang sejarah baru kali ini Presiden RI memberikan grasi atau mengampuni pelaku kejahatan narkoba. ”Presiden-presiden sebelumnya tak pernah melakukan hal itu, baik terhadap napi WNI maupun napi asing,” katanya.

Corby dihukum 20 tahun penjara pada 2005 setelah terbukti membawa 4,2 kilogram ganja ke Bali. Dengan grasi lima tahun ini, dan serangkaian pengurangan hukuman yang telah ia dapatkan sebelumnya, Corby bisa dibebaskan bersyarat, September nanti.

Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr membantah telah terjadi kesepakatan antara Australia dan Indonesia, bahwa grasi Corby diberikan sebagai pertukaran atas pembebasan tiga warga negara Indonesia dari tahanan Australia.

Alasan kemanusiaan

Menurut Carr, Pemerintah Australia membebaskan tiga warga negara Indonesia itu karena masih anak-anak. Keputusan itu akan tetap diambil meski tak ada warga Australia, seperti Corby, yang sedang dipenjara di Indonesia.

Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan, grasi itu diberikan atas pertimbangan kemanusiaan, dan bukan karena kesepakatan khusus antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com