Misalnya, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pencemaran nama baik diancam sanksi pidana yang rendah. Lain halnya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu membuktikan cara pandang pembentuk UU terkait substansi hukum tidak
Ancaman pidana yang ada hampir di setiap UU ini, sayangnya, tak dibarengi dengan pembenahan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum, yakni penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. ”Maka yang terjadi di daerah, ya, mereka ini asal nyasar saja. Memenuhi target. Yang namanya jaksa, ya, harus menuntut. Jadi, ada sisi yang memang saling menunjang gagalnya reformasi di bidang hukum,” ungkap Fajrul.
Dilihat dari soal substansi, kata Saldi, produk hukum yang dikeluarkan DPR dan pemerintah mulai menyeleweng jauh dari semangat awal reformasi. Pada awal-awal reformasi, DPR mampu membentuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Komisi Pemberantasan Korupsi dengan semangat yang murni menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.
Fajrul juga senada. Hingga 2004, ada kulminasi dari keinginan yang sifatnya reformis. Mahkamah Konstitusi dibentuk, dan Komisi Yudisial sebagai pengawas hakim sekaligus terlibat dalam pengusulan hakim agung, KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pemisahan polisi dari TNI, otonomi daerah, pembentukan Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan adalah bentuk-bentuk perwujudan dari semangat itu.
Belakangan ini semangat itu mulai berubah. DPR justru ingin mengubah UU KPK (untuk mengurangi kewenangannya) seakan mereka ”menyesali” apa yang sudah dihasilkan pada
”Mereka merasa tidak terikat lagi dengan apa yang dulu menjadi cita-cita sebagian orang waktu menumbangkan Soeharto. Kini, semangat di awal reformasi itu justru dinilai membatasi atau merugikan diri mereka sendiri,” kata Saldi.
Setelah 14 tahun reformasi, keadilan masih menjadi impian.