Bagi Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Sebenarnya, ujar Alvon, setelah reformasi, penegakan hukum di Indonesia justru terlihat banyak cacatnya. Ia mencontohkan, agenda reformasi dalam konteks hukum seperti mengadili para pelanggar hak asasi manusia di masa lalu ternyata tak berjalan meski setelah sekian lama kasusnya terungkap. Penegakan hukum saat ini tak berkontribusi pada demokratisasi di Indonesia.
”Justru sebaliknya, hukum malah membuat defisit demokratisasi. Tidak heran apabila dalam banyak peristiwa hukum, negara seperti absen. Lihat saja kasus-kasus kekerasan bernuansa keagamaan, negara sepertinya tetap diam. Malah negara seperti menjadi pelaku pelanggaran hukum,” kata Alvon.
Tidak tegaknya hukum setelah reformasi, menurut Alvon, juga terlihat dari masih maraknya kasus-kasus konflik sumber daya alam dengan rakyat tetap menjadi korban. ”Yang terjadi justru kriminalisasi terhadap rakyat seperti petani di Mesuji. Dalam kasus-kasus perburuhan, hukum lebih banyak berpihak kepada pemilik modal,” katanya.
Dalam urusan keadilan, banyak rakyat kecil yang sulit berhadapan dengan hukum. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, hakim yang diharapkan sebagai pemberi keadilan tak mampu memenuhi harapan masyarakat. Banyak kasus kecil yang mengusik rasa keadilan, seperti kasus Nenek Minah dan sandal jepit mencuat. Sebaliknya, kasus korupsi
Tidak mengherankan cita-cita reformasi dalam konteks penegakan hukum ibarat jauh panggang dari api. Penataan sistem hukum agar hukum bisa berpihak kepada rakyat dan menciptakan keadilan substantif tak juga berjalan meski 14 tahun sudah berlalu sejak rezim otoritarian Orde Baru tumbang oleh kekuatan demokrasi.
”Kalau serius, masa 14 tahun adalah waktu yang cukup. Lima tahun pertama merupakan langkah awal menata sistem hukum yang baru. Lima tahun berikutnya untuk proses pembudayaannya, dan lima tahun ketiga sekarang ini bisa untuk evaluasi. Tetapi, melihat karut-marut penegakan hukum sekarang ini, rasanya 14 tahun menjadi waktu yang sia-sia,” kata Alvon.
Kerja penataan sistem hukum itu seperti tertatih-tatih. Sebutlah kinerja legislasi para politisi di parlemen yang sangat rendah. Sungguh disayangkan! Tetapi, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fajrul Falaakh, juga melihat sisi lain bahwa kinerja rendah itu patut disyukuri. Pasalnya, produk hukum yang dihasilkan DPR makin tak keruan, tumpang tindih, dan menampakkan gejala otoritarianisme. Dalam beberapa hal, produk hukum itu justru mulai menjauh dari semangat reformasi.
Bagi Fajrul, hampir semua produk undang-undang yang dihasilkan DPR memiliki bobot ancaman pidana (otoritarian). Bahkan, terdapat perbedaan mencolok dalam hal pengaturan ancaman pidana antara UU yang satu dan yang lain.
Misalnya, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pencemaran nama baik diancam sanksi pidana yang rendah. Lain halnya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu membuktikan cara pandang pembentuk UU terkait substansi hukum tidak
Ancaman pidana yang ada hampir di setiap UU ini, sayangnya, tak dibarengi dengan pembenahan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum, yakni penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. ”Maka yang terjadi di daerah, ya, mereka ini asal nyasar saja. Memenuhi target. Yang namanya jaksa, ya, harus menuntut. Jadi, ada sisi yang memang saling menunjang gagalnya reformasi di bidang hukum,” ungkap Fajrul.
Dilihat dari soal substansi, kata Saldi, produk hukum yang dikeluarkan DPR dan pemerintah mulai menyeleweng jauh dari semangat awal reformasi. Pada awal-awal reformasi, DPR mampu membentuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Komisi Pemberantasan Korupsi dengan semangat yang murni menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.
Fajrul juga senada. Hingga 2004, ada kulminasi dari keinginan yang sifatnya reformis. Mahkamah Konstitusi dibentuk, dan Komisi Yudisial sebagai pengawas hakim sekaligus terlibat dalam pengusulan hakim agung, KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pemisahan polisi dari TNI, otonomi daerah, pembentukan Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan adalah bentuk-bentuk perwujudan dari semangat itu.
Belakangan ini semangat itu mulai berubah. DPR justru ingin mengubah UU KPK (untuk mengurangi kewenangannya) seakan mereka ”menyesali” apa yang sudah dihasilkan pada
”Mereka merasa tidak terikat lagi dengan apa yang dulu menjadi cita-cita sebagian orang waktu menumbangkan Soeharto. Kini, semangat di awal reformasi itu justru dinilai membatasi atau merugikan diri mereka sendiri,” kata Saldi.
Setelah 14 tahun reformasi, keadilan masih menjadi impian.