SIDOARJO, KOMPAS
Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Ahmad Kusairi mengatakan, permukaan air lumpur paling tinggi terdapat di titik tanggul 70 dan titik tanggul 71. Lokasinya di Desa Ketapang, Kecamatan Porong. Tanggul yang kritis berada di tepi Jalan Raya Porong dan rel kereta api yang menghubungkan Sidoarjo-Banyuwangi dan Malang.
”Jarak antara permukaan air lumpur dengan permukaan tanggul tinggal 115 sentimeter (cm). Sebelumnya, jarak antara kedua permukaan mencapai 200 cm lebih. Jarak antarpermukaan saat ini sudah melampaui titik aman yakni 2 meter,” ujarnya.
Kusairi mengatakan, ada beberapa kemungkinan terjadi jika kondisi tanggul dibiarkan. Salah satunya, air lumpur meluber dari puncak tanggul dan air menggerus permukaan tanggul sehingga berpeluang longsor.
Apabila longsor benar-benar terjadi, dampak lebih luas akan dirasakan oleh masyarakat Jawa Timur.
Dengan kondisi seperti itu, BPLS harus meninggikan dan memperkuat struktur tanggul. Faktanya, BPLS tidak bisa memperbaiki karena tanggul masih dikuasai warga korban lumpur Lapindo yang menuntut pelunasan ganti rugi. Pendudukan tanggul oleh warga sejak 16 April 2012 lalu, dan melarang BPLS beraktivitas sampai dilakukan pembayaran ganti rugi.
Sementara warga Pangolombian, Tomohon, Sulawesi Utara, resah dengan pencemaran timbunan lumpur atas puluhan hektar lahan pertanian dan perkebunan mereka. Pencemaran diduga berasal dari galian dan pengeboran sumur panas bumi PT Pertamina Geothermal Energy Lahendong.
Paransi (49), warga Pangolombian, mengadukan masalah pencemaran ini ke DPRD Kota Tomohon, dan diterima anggota DPRD Kota Tomohon Paulus Sembel.
Humas PT Pertamina Geothermal Energy Arie Turangan mengatakan, pihaknya bertanggung jawab atas setiap akibat termasuk kerusakan lingkungan dari pengeboran sumur panas bumi. Namun, perlu ada penelitian dari ahli lingkungan mengenai penyebab pencemaran.(NIK/ZAL)